Depok salah satu kota "satelit" Jakarta, yaitu masuk menjadi bagian megapolitan terbesar di dunia "JABODETABEK" dari hanya sedikit megapolitan di dunia ini. Namanya megapolitan, maka soal "ruang" menjadi masalah utama. Macet, situasi lumrah terjadi.
Sejak lama Kota Depok sudah terkenal macet, selain jalan utamanya hanya bertumpu pada Jalan Raya Margonda sepanjang 6 kilometer dari utara-selatan membelah kota itu menjadi 2 bagian. Depok juga terkenal sebagai kota yang paling tidak ramah pada pejalan kaki karena jalan-jalannya sangat sedikit menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. Jika ditata dengan apik, Jalan Raya Margonda bisa menjadi semacam Bouleverd yang sangat ideal. Jika kiri-kanan jalan disediakan trotoar luas, maka akan sangat menarik berjalan-jalan. Sayangnya ruang itu tidak tersedia, jadi sayang jalan besar lurus sepanjang 6 km itu hanya menjadi arus lalu lintas saja. Â
Kelemahan kedua, adalah kurangnya jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki dari satu sisi ke sisi lainnya. Mengakibatkan jalan tersebut tidak ramah terhadap pejalan kaki yang harus menyeberang jalur lalu lintas ramai tersebut. Sering terjadi kecelakaan, sehingga sempat dikritik banyak orang, hanya di Depok jalan utama kota memiliki "polisi tidur". Jembatan penyeberangan hanya beberapa, 1) di depan Bank Jabar/BNI/Kantor Walikota 2) Plaza Depok/Terminal Depok 3) Detos/Margicity. Untuk 6 km hanya ada 3 jembatan, artinya 1 untuk 2 km. Oh ampun, Anda harus berjalan 2 km sebelum bertemu 1 jembatan penyeberangan.
Lalu mengapa Kota Depok berkembang pesat? Nggak usah dijawab serius amat, ya karena Depok satelitnya Jakarta Raya. Titik.
Tanah di Kota Depok umumnya dimiliki oleh perorangan, akuisisi oleh perusahaan-perusahaan besar hanya untuk lokasi strategis seperti sekarang telah menjadi Margocity dan Depok Town Square, ITC DEPok dan Mall Depok, dan Universitas Indonesia. Selebihnya tanah perorangan atau sebut saja "kampung". Karena "kampung raksasa" awalnya, maka pengembangan tata kota tumbuh berdasarkan pertumbuhan penduduk di sana. Jalan yang terlanjur dibuat, bukan direncanakan, oleh penduduk, menyediakan space lebar jalan "seadanya" dan sesuai batas-batas tanah. Ini menghasilkan jalan-jalan kota yang sempit namun berkelok-kelok.
Pengembangan tata kota yang cantik sudah sulit akibat sudah terbentuknya pola jalan yang demikian. Makanya akses semua kendaraan mobil dan motor akan mau nggak mau tumpah ke jalan utama Margonda, Juanda, Jalan Raya Bogor. Sementara jalan-jalan sempit dan berkelok tersebut hanya menguntungkan para pemotor yang sudah paham wilayahnya. Inilah dasar utama dari kemacetan Kota Depok.
Saat ini Depok yang sudah macet akan tambah parah macetnya karena Jalan Tol Cijago (Cinere Jagorawi) sebentar lagi siap beroperasi. Sejauh ini dari Jagorawi ke Jalan Raya Bogor sudah terhubung, dan dari Jalan Raya Bogor ke Margonda sudah akan terhubung kurang dari 2 tahun. Karena konstruksi jembatan sudah dibangun. Membangun konstruksi di atas tanah jauh lebih cepat. Dan kelihatannya sampai dengan kompleks Universitas Indonesia sudah bebas, terbukti dari sudah adanya jalan tol masih berupa tanah yang sudah berbentuk jalan sepanjang beberapa kilometer, dan setengah jembatan underpass perlintasan Tol Cijago dengan Margonda sudah jadi.Â
Jika kendaraan dari Jakarta sudah langsung keluar di Margonda, maka dijamin pasti kendaraan dari arah selatan Depok (Parung, Sawangan, CItayam, Bojong, Depok Mulya, dll) semuanya akan masuk ke jalan dalam kota seperti Kartini, Siliwangi, dan Nusantara, yaitu untuk mencapai akses masuk di Margonda dekat Universitas Indonesia. Orang akan malas lagi mengambil jalan alternatif seperti melalui Jagakarsa Wuihhhh.... sekarang aja jalan-jalan tersebut sudah macet apalagi dengan adanya tol. Begitu juga arah Jakarta-Depok. Semua kendaraan menuju wilayah selatan kota akan keluar tumpah ruah di Margonda.
Kemungkinan Solusi
Ada beberapa kemungkinan solusi untuk memecahkan arus kendaraan di Margonda, salah satunya membuat jalan arteri di samping kiri tol dari Margonda ke arah Cinere harus dibebaskan dan dibuat arteri yang lebar selebar 3 jalur, dan dapat diteruskan sampai mendekati Cinere.
Mengapa?
Karena di jalan arteri tersebut ada beberapa jalan utama, yaitu 1. Beji Timur, kendaraan arah Beji bisa keluar di daerah ini tak perlu masuk Margonda 2. Jln. Tanah Baru, kendaraan daerah Kukusan sampai ke selatan Sawangan bisa keluar di sini dan 3) Jln. Krukut Raya dan 4) Jln. Limo Raya untuk keluar Cinere.Â
Kalo jalan arteri tersebut dibuat lebar maka sangat membantu kendaraan ke Depok wilayah barat dan selatan kota tidak perlu masuk ke dalam jaringan dalam kota yang sudah ada selama ini, karena kapasitasnya sudah tidak memadai.
Â
Semoga Pemda Kota Depok menyediakan anggaran cukup besar untuk mengantisipasi dibukanya Jalan Tol Cojago yang sebentar lagi.
 Â
Â
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H