Tidak apa-apa jika berandai-andai bukan? Karena sejatinya perkembangan kebudayaan manusia adalah akibat karunia kreasi pikir nalar bernama imajinasi. Manusia punya kesanggupan itu. Pepatah lama kata "Gantungkan cita-citamu setinggi langit". Bercita-cita, alias berandai-andai tidak bayar, asli gratis. Lalu ngapain cita-cita digantungkan rendah? Ada yang bilang "nggak realistis", tentu saja namanya juga cita-cita mana ada realistis. Justru cita-cita yang rendah yang nggak realistis.
Kembali ke "Taktik Ahok". Sesuai informasi yang kami kumpulkan dari percakapan dengan banyak orang, dan info di media, kami menyimpulkan bahwa Gubernur Ahok menerapkan suatu strategi yang unik dalam hal metode membangun kota Jakarta. Strategi yang miri (tidak sama persis) pernah diterapkan Gubernur "Bang" Ali Sadikin. Kesamaannya terletak pada usaha kreatif persuasif dengan warga ber-uang agar bagaimana cara uang mereka mengalir langsung kepada proyek buat maslahat masyarakat seperti jalan, jembatan, taman kota, dll.
Adalah Gubernur Ahok, menurut informasi tersebut, mewajibkan semua pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek di DKI, untuk memberikan kompensasi bagi kota dalam bentuk pembangunan fasilitas kota, sebagai prasyarat agar ijin proyek mereka keluar.
Misalnya, jika anda pengusaha pengembang property, estate, atau kawasan apapun, maka anda wajib menyiapkan kompensasi berupa fasilitas kota agar ijin anda keluar. Jika anda membangun mall "gede", maka anda diwajibkan membangun dan menata jalur pembuangan air di kawasan tersebut. Misalnya proyek reklamasi anda yang "super huge" maka akses kepada lokasi proyek anda, atau struktur dari proyek anda mengakibatkan perubahan dalam tata kota yang berdampak pada banjir, maka ijin anda bersyarat pada penyediaan fasilitas pompa raksasa di lokasi yang ditentukan pemerintah kota. Begitu juga ketika bangunan super tinggi pencakar langit akan menarik trafik dari berbagai arah, maka anda diwajibkan membuat fly over agar arus dari dan ke proyek anda tidak mengacaukan lalu-lintas di sekitar lokasi gedung anda. Atau anda membangun fasilitas apartemen dan/atau office di sudut sebuah perempatan lampu merah, maka anda diwajibkan membuat / memperlebar jalan di lokasi anda, agar kendaraan di tempat tersebut tidak langsung keluar-masuk ke lokasi anda, tetapi justru kendaraan lain bisa masuk ke fasilitas jalan yg anda persembahkan untuk masyarakat, memperlebar akses di sekitar lampu merah yang biasanya "kongesti" mampet.
Menurut informasi yang kami terima, hal ini bukan hanya wacana, tetapi sudah diterapkan.
Apakah hal semacam ini dihitung sebagai "gratifikasi"?
Sejatinya tidak, karena tidak ada perpindahan aset dari pengusaha kepada badan hukum atau perorangan siapapun, melainkan dalam bentuk fasilitas kota, yang notabene milik negara. Malah praktek ini menjadi pengumpul sumbangsih pengusaha kepada negara secara nyata. Ini menjadi semacam proyek kemurahan hati, charity, dari pengusaha kepada masyarakat dan kota.
***
Dengan diterapkannya metode unik ini, maka timbul pikiran sederhana: "Kalau pengusaha sekarang "willing" berbagi keuntungannya dengan kota dalam bentuk fasilitas, maka mestinya pengusaha untuk proyek yang sebelumnya, mestinya juga "willing" yang sama, tetapi SIAPAKAH PENERIMA willingness, sumbangsih demikian? Jika tidak dalam bentuk fasilitas kota, maka bisa jadi bentuknya "mentahnya" dan kepada siapa itu diserahkan? Entahlah walahualam bisawab. Penulis nggak tahu.
Sekali lagi ini hanya sebuah cara bernalar logika saja. Kebenaran sejatinya tersembunyi dalam praktek di masa lalu pemerintahan kota Jakarta.
***
Menyitir ulasan Jaya Suprana, bosnya Museum Rekor Indonesia MURI dalam suatu kesempatan. Ia bercerita bahwa bangsa Jerman dalam berbisnis, yang dicerminkan dalam sistem akuntansi negaranya, bahwa "uang upeti" (istilah om Jaya saat itu kami kurang ingat), ketika perusahaan berbisnis dengan Pangeran/Penguasa di negara minyak Timur Tengah diakui oleh bangsa Jerman sebagai "kelaziman bisnis yang dapat diterima". Sehingga "upeti" yaitu prosentasi tertentu dari nilai bisnis yang menjadi hak Pangeran/Penguasa Arab misalnya 2.5% yang diserahkan oleh perusahaan Jerman, secara sah dapat dianggap dalam laporan keuangan perusahaan Jerman itu sebagai komponen "biaya" yang legal.
Jaya Suprana lebih jauh mewacanakan, bahwa bangsa Indonesia harus secara jujur mengakui bahwa "upeti" (ini masih bahasa saya) adalah kelaziman budaya, yang apabila diterima, maka negara akan mengakomodasi ini, dan sistem akuntansi pada gilirannya dapat menerima secara valid untuk dicatat sebagai biaya. Sayangnya bangsa Indonesia yang budayanya mengandung unsur "upeti" alias "uang terima kasih" dalam setiap transaksi bisnis, tetapi menganggap dan mengundang-undangkan hal ini sebagai ilegal (gratifikasi/korupsi).
***
Kembali kepada pengusaha property dan pengembang Jakarta. Jadi dari sisi budaya adalah lazim memberikan "uang terima kasih" kepada Pemerintah (misal Gubernur) yang telah memberikan ijin sehingga perusahaan pengembang tersebut dapat "cuan" gede dari proyek itu. Nah sang Gubernur misalnya yang tidak menafikkan praktek ini, lalu dengan cerdik dan kreatif "mengakomodasi" praktek ini dalam sebuah kreasi legal, yaitu bahwa silahkan perusahaan membuat sumbangsih kepada kota/masyarakat "dibiayakan", dalam bentuk yang sah sesuai ketentuan negara dan akuntansi misalnya sebagai CSR (corporate social responsibility), atau sesederhananya sebagai bagian biaya proyek.
Singkat kata, seandainya, secita-citanya semua Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia yang tidak menafikkan budaya "upeti", dan semuanya sekreatif Gubernur Ahok, dengan kerelaan membuat dan menerjemahkan "budaya upeti", dimana bentuk kreasi itu adalah pembangunan fasilitas kota/ kemaslahatan masyarakat, maka betapa pesatnya sebuah kota atau daerah dan pada gilirannya negara berhasil dibangun.
Signifikankah Nilainya?
Sangat !!!!!
Mengapa kami meneriakan aklamasi ini seolah-olah ini teriakan kegembiraan sekaligus putus asa? Iya, kegembiraan jika Gubernur seperti Ahok, dan putus asa jika Gubernur, Bupati dan Walikota bukan seperti Ahok. Mengapa? Lalu kenapa?
Karena sejak masa Orde Baru, Pofesor Begawan Ekonomi Pemerintah Suharto sendiri pernah menyatakan bahwa anggaran negara "bocor" sebesar rasio 30% (TIGA PULUH PERSEN) dari total anggaran. Bocor ???????? Whatttttttt the .... ??????
Tetapi tidak pernah berhenti disitu, sampai pada zaman Reformasi, dan terakhir zaman Pak SBY terus saja ada informasi mengenai "BOCOR 30%". Ohhh nooooooo.
Jadi angkanya adalah 30% (TIGA PULUH PERSEN). Itulah angka kebocoran yang sudah diamini oleh semua anak-bangsa Indonesia. Nah angka 30% BOCOR itulah yang coba dimanfaatkan oleh Gubernur Ahok. Meskipun tidak seluruhnya, tetapi setidaknya "BOCOR" tersebut dialirkan langsung kepada PROYEK RIIL Fasilitas Kota. Coba jika tidak diEJAWANTAHKAN ke fasilitas kota, maka uang "upeti" itu mestinya telah nyangkut di rekening atau brankas para kepala-kepala dinas, para pimpro proyek Pemerintah yang sifatnya korup sejak dahulu kala sampai sekarang.
Deal-deal antara Pengusaha Pengembang dan Pemerintah seperti strategi Gubernur Ahok memang TIDAK MENGASUMSIKAN KEBOCORAN, tetapi mereka mengasumsikan CSR untuk Fasilitas Kota. Apakah ini berarti "korup pada anggarannya" ? tentu saja tidak, karena pengusaha juga memiliki faktor yang disebut "keuntungan bersih". Nah CSR adalah valid dan sah dianggarkan dari faktor keuntungan ini.
Apa Manfaat Strategi Ini ?
Strategi ini sangat bermanfaat terutama dalam soal KONTROL KUALITAS PROYEK. Karena ketika pihak Pengusaha sebagai pelaksana proyek, tidak lagi memiliki ikatan emosional dengan Pemerintah, melainkan ikatan formal dalam kaitan dengan proyek, maka Pengusaha tidak memiliki mental dan lalu tindakan untuk "membagi keuntungan dengan siapa saja", karena pembagian keuntungan sudah jelas yaitu kepada Fasilitas Kota secara langsung. Dengan demikian "komponen biaya" sudah berhasil dilokalisir demi masyarakat kota dalam bentuk fasilitas publik, maka TIDAK ADA ALASAN UNTUK MENGKORUPSI kualitas proyeknya sendiri. Artinya Proyek Pemerintah dibangusn dengan spesifikasi sebaik-baiknya. Bangunan yang dirancang berumur 100 tahun akan bertahan 100 tahun. Jalan yang dirancang berumur 25 tahun akan berumur 25 tahun. (Kayak bangunan Belanda di kawasan Kota Tua Jakarta yang masih kokoh sampai detik ini).
Inilah strategi Gubernur Ahok.
Sekali lagi berandai-andai, bercita-cita. Ohhhh sekalian Gubernur, Bupati dan Walikota, seandainya "upeti" itu anda tidak terima untuk memuaskan ego anda-anda, tetapi anda salurkan langsung dalam bentuk fasilitas kota, fasilitas masyarakat, maka anda sudah untung pada 2 hal besar : 1) Fasilitas bagi maslahat orang banyak dan 2) Kualitas Proyek anda sesuai dengan spesifikasi dan rancangan, karena tidak digerogoti oleh korupsi.
Cita-cita Indonesia memiliki 100 Gubernur, Bupati, Walikota SEPERTI GUBERNUR AHOK, negara Indonesia bisa sejahtera.
Ya TUHAN semoga saja Engkau mengirim 100 manusia-manusia Gubernur, Bupati dan Walikota yang lurus seperti Ahok ....
Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H