Maka satu-satunya cara untuk memutuskan rantai gratifikasi ini adalah dengan memberi pencerahan secara sistem, bahwa "kekuasaan tak terlihat" harus dibuat terang benderang, yaitu dibingkai dalam sebuah hal yang logis dan dapat dilihat semua orang yang kita sebut "sistem" transparansi.
Jika sistem penerimaan perwira tentara/polisi dibuat transparan, "penguasa tak terlihat" menjadi tidak ada, karena kesorot oleh terangnya logika dan keadilan sistem itu. Tetapi ketika sistem demikian dibuat "gelap", yaitu hanya orang-orang tertentu yang memiliki pengaruh menentukan, yaitu kekuasaan ada di tangan segelintir manusia, maka akan muncul "penguasa tak terlihat", yang secara otomatis direspon oleh "pikiran kuno" (mungkin bawaan bagian otak "primitif kadal") dari amusia Indonesia modern bahwa "penguasa tak terlihat" tersebut harus dibuat senang.
Sama seperti titik-titik di mana sesaji harus diletakkan dapat diketahui dengan mudah di masa kuno, yaitu di bawah pohon beringin, di laut yang sering membawa korban, di lereng gunung berapi, maka titik-titik sesaji modern juga diketahui, misalnya "kepada si A yang dekat dengan Kepala Kantor", kepada "sopir Pak Dewan", atau kepada "Bu Pura" yang dekat dengan babeh Kepala Negara, dll..
***
Jadi dengan kosntruksi budaya Indonesia yang mengakar pada "pikiran primitif" berbasis animisme dinamisme seperti ini, maka jangan harap korupsi karena gratifikasi lenyap dari bumi Indonesia. Hanya ada 2 (dua) jalan yang terbaik mengatasi hal ini, yaitu:
1. Bangun sistem transparan, agar "sinyal adanya penguasa tak terlihat" jangan ditangkap oleh "otak primitif" orang Indonesia
2. Penguasa-penguasa dengan "pikiran primitif" sudah terbebas dari nafsu memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan diri sendiri.
Kelihatannya yang pertama dapat diatasi dengan dibangun IT "SEMUA ONLINE", IT yang baik dan andal.
Tetapi yang kedua, dibutuhkan pencerahan secara intelektual, atau revolusi "awakening" kesadaran kolektif masyarakat untuk keluar dari roh ketakutan pada "penguasa-penguasa" tak terlihat.
Di sisi yang mengejutkan adalah, sesungguhnya selama "ketakuatn pada penguasa tak terlihat" begitu menguasai masyarakat Indonesia, maka sejatinya agama formal telah gagal memberi pencerahan. Karena terang dari agama seyogyanya mencerahkan sampai kepada relung hati yang terdalam ("otak kadal primitif"), tetapi adanya ketakutan dan adanya praktek "sesaji" menceritakan hal sebaliknya.
***