Dalam sistem ini, "nasional" tidak memiliki maknanya, karena warna dominan adalah "etnis China", sehingga "dagang mie instant" akan tidak berwarna "nasional". Dan banyak contoh lainnya. Bagaimanapun kita memaksa warna nasional, pada faktanya kekuasaan etnis tertentu akan tetap mewarnai. Sehingga secara parsial bagian dari kehidupan berbangsa tidak bernama "nasional" melainkan suatu yang dikuasai kelompo tertentu.
Si Bahlul, etnis Madura misalnya, ia menginginkan semua pedagang di sekeliling lokasi dagangnya, dan secara vertikal dalam rantai supply barang dagangan adalah etnis Madura. Sama seperti keinginan dan praktek etnis China. Pedagang Palembang dan Padang juga akan berpikrian sama. Usaha untuk mengakuisisi sumber ekonomi seperti lapak berdagang, kios, tanah, gudang, dll. akan mengikuti alur logika ini.
Karena sejatinya praktek demikian sah karena bersifat "mikro", yang material dalam keputusan itu adalah kemungkinan pertolongan dan bantuan, yang secara psikologis dianggap dipandang mudah diperoleh dari kelompok yang homogen. Masalahnya kemudian adalah pandangan "mikro" demikian membentuk sekat nasional yang tak terlihat itu. Karena satu-satunya alasan yang terlihat dalam keputusan mikro adalah "apa benefit buat saya", tidak ada yang namanya "nasionalisme" dalam keputusan demikian.
Sehingga dengan hyipotesis sederhana ini, jika dasar keputusan selalu bersifat demikian, maka selamanya Indonesia tidak akan memiliki "nasional" di banyak segmen kehidupan.
Pihak yang bisa menerobos menembus batas-batas itu untuk membaur dengan damai adalah semua komponen masyarakat yang dienforce oleh Pemerintah. Jika Pemerintah oleh oknum-oknum ikut mengambil keuntungan dari kegemaran kelompok-kelompok masyarakat membentuk sekat pembatas ini, maka  praktek itu hanya menguatkan pembatas. Padahal seharusnya batas-batas demikian dihancurkan.
Pertanyaannya sekarang adalah "Perlukah pembatas itu dihancurkan, atau dibiarkan ada?". Pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab apabila pertanyaan sebelumnya dijawab. "Apakah pembatas itu baik atau buruk?".
Agar nasional itu terbentuk, maka seyogyanya pembatas itu dihilangkan sedapat mungkin. Karena jika pagar itu terlalu kuat dan mengganggu, maka benturan antar budaya, Clash of Clan (kayak nama game online yg tenar sekarang). Fakta yang paling nyata terjadi selepas kekuasaan tunggal rezim Soeharto yang mengontrol semua kekuatan masyarakat secara nasional lepas dan hancur. Komponen masyarakat yang tinggal dengan batas-batas berseberangan pun clash, bentrok. Sampit, Ambon, Maluku Utara, Poso, Bom Natal, dll.
Saat ini, para politisi sedang berusaha membangun tembok-tembok pemisah secara politik, dan itu dipertntonkan secara kasar dan brutal, tanpa ada kelembutran, tanpa ada teposeliro, tanpa tenggang rasa, tanpa keinginan mendengar, yaitu dengan sikap jumawa, arogan dan pemaksaan.
Mungkin seperti kebanyakan type "nasional" Indonesia lainnya, yang selalu berlindung pada "logika statistik", siapa yang banyak menang, maka logika pembenaran demikian meski dianggap "sah, legal, konstitusional", tetapi ingatlah, itu logika yang mengandung jebakan bom waktu, hanya soal waktu untuk meledak dan menghancurkan.
Orang Sampit telah belajar betapa tak menyenangkannya pagar pembatas yang dibangun oleh etnis tamu tertentu. Glodok dan kawasan Kota di Jakarta adalah saksi dari kebencian atas batas-batas demikian.
Jika politisi tidak pernah belajar dari asosiasi dari hipotesis sederhana demikian, maka mereka hanyalah sekumpulan orang yang mungkin kepadanya dapat diterapkan peribahasa lama "Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lobang yang sama". Kecuali mereka tidak mau belajar dari binatang itu, Clash of Clans mungkin saja terjadi.