Mohon tunggu...
Fithor Faris
Fithor Faris Mohon Tunggu... -

terima kasih petani

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingan Menunggu Waktu

9 Juni 2010   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:38 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari baru muncul setengah, langit masih sedikit berurai warna segar. Pelan-pelan Aru mengendarai sepeda motornya, menikmati kesejukan di pagi hari. Sudah banyak yang beraktifitas. Orang-orang berlari pagi, tukang sapu jalanan, pasar pagi yang sudah mulai membereskan dagangannya dan bergantian shift dengan pedagang lainnya, ada juga yang sudah membuka warung dan lain sebagainya. Di atas jembatan Aru berhenti. Melihat suasana kota dari ketinggian sedang. Tidak terlihat banyak pemandangan itu, tapi paling tidak ia berada lebih tinggi dari stasiun kereta api. Banyak sepasang muda-mudi yang asyik menikmati indahnya pagi berkendara sepeda motor, bersepeda pancal dan naik becak berdua. Beberapa kali Aru mencoba mengajak Murni untuk jalan-jalan di pagi hari seperti ini, tapi tidak pernah mau. Hari libur seperti ini ia selalu bangun siang, tidak pernah kurang dari jam sepuluh. Katanya sih kelelahan setelah bekerja lebih sibuk darinya mulai Senin sampai Jumat. Ia melanjutkan perjalanan dengan mengandarai sepeda motor pelan. Menghirup udara segar. Kalau siang polusi sudah pasti merajalela merambah seluruh daerah dengan detail. Ia melewati kompleks Murni, membuatnya kembali terpikir jika suatu saat nanti menikah dengannya. Pagi demi pagi yang segar akan terlewatkan begitu saja. Reka kehidupan jika bersama Murni akan seperti ini: Kalau hari kerja, begitu bangun pagi langsung berangkat kerja, tanpa ada basa-basi sedikitpun, karena bangunnya juga mepet-mepet. Begitu pulang kantor langsung tidur karena kelelahan bekerja seharian sampai lembur atau di sambung jalan-jalan ke mall. Hari libur bangunnya siang, sorenya jalan-jalan ke mall, nonton bioskop dan lain-lain, malamnya dinner di luar, karena Murni lebih memilih makan di luar daripada masak sendiri. Apalagi gaji Murni yang nanti pasti beranak pinak, mengingat kredibilitasnya dalam bekerja. Kira-kira seperti itulah bayangannya jika melewati alur dunia dengan Murni. Aru masih belum bisa membayangkan gaya hidup yang seperti itu. Terus ia berkendara melaju menjauh dari kota ia tinggal. Pintu masuk gapura kota seberang sudah berada tepat di atas ubun-ubun. Kota ini lebih hijau dibanding dengan kota Aru tinggal. Gampang sekali mencari workshop milik pakdenya, melewati Alun-alun yang ramai orang berlari pagi, duduk-duduk bersama keluarga, bermain layangan, sepatu roda, skateboard, sepak bola dan ada beberapa pedagang makanan dan minuman. Setelah itu belok ke kanan masuk gang kecil bergapura hijau. Sepeda motor ia matikan dan dituntun memasuki gang itu. Terlihat bangunan yang terbuat dari triplek diberi warna abu-abu, dan di depannya terdapat furniture-furniture yang dengan sengaja dipajang di depan untuk menarik perhatian. Jam delapan kurang seperempat Aru tiba. Cak Juki langsung keluar, karena ia merasakan ada yang datang dan menyambutnya dengan salam. ”Selamat datang di istana saya.” Walaupun bangunannya tidak begitu bagus, tapi Cak Juki bersemangat sekali menyebut workshop itu sebagai istana kebanggaannya. ”Silahkan masuk Ru, sepedanya masukkan juga ke dalam biar aman.” ”Siap Cak.” “Gimana kabar Ayah dan Ibumu?” “Baik Cak. Salam dari Ayah dan Ibu?” “Iya wa’alaikum salam.” Ia melihat workshop Cak Juki yang bersih, rapih dan di pojok ada musholla yang cukup luas dan bersih. Setelah Aru memarkir, ia mengambil plastik kresek hitam yang digantung di sepeda motornya. ”Ini Cak, saya bawakan sarapan.” ”Wah repot-repot kamu Ru.” ”Nggak lah Cak, sekalian promosi warung milik Ibu.” ”Oh, Ibumu punya warung toh?” ”Iya Cak.“ “Wah, Muantab Ru. Tahu aja Ibumu kesukaan saya.“ “Saya bawakan enam porsi, buat siapa saja yang ada di sini.” ”Sip, sip Ru, nanti pasti saya bagi rata, terima kasih.” “Sebenarnya Ibu sudah lama ingin Cak Juki merasakan masakan di warungnya. Tapi saya baru sempat sekarang nganterin ke sini.“ “Iya gak pa-pa Ru. Nanti kapan-kapan saya langsung makan di warung ibumu.“ Cak Juki mengajak Aru melewati tempat yang penuh dengan lampu neon berjejer. Kamar itu adalah kamar untuk proses akhir dalam pembuatan furniture, setelah melalui proses pengecatan lalu dikeringkan di dalam kamar itu. Ada sebuah rak yang diletakkan di dalam ruang itu, berdiri dengan gagah di tengah-tengah, lemari berwarna putih. Tukang-tukang Cak Juki ada delapan, semuanya giat bekerja. Cak Juki lebih senang menyebut tukang-tukang mereka dengan sebutan karyawan, biar mereka serasa bekerja di tempat yang bonafit. Selain itu juga karena mereka adalah manusia-manusia yang berkarya, bukan dengan maksud sekedar tukang yang bisa bekerja berdasarkan instruksi. Apalagi manusia yang dikaryakan, seperti yang saat ini dilakukan oleh para kapitalis di seluruh dunia. ”Hari Sabtu masih kerja Cak.” ”Kebetulan saja lagi ada kerjaan buat pameran nanti malam, mau tidak mau ya lembur Ru.” ”Dibayar Cak?” ”Iya, saya hitung lembur, sudah masuk dalam budget penawaran juga.” Sampai siang ia berada di workshop Cak Juki, Aru betah berada di situ, mencoba-coba mengamplas, menggergaji, mengecat duco. Semangat sekali Aru. ”Kamu mau kerja di sini Ru.” ”Mau, Cak Juki Serius?” ”Hahahahaha... mana mungkin kamu mau Ru.” Tak terasa Adzan Dzuhur terdengar nyaring di masjid sebelah, dengan suara mikrofon yang terputus-putus diiringi suara feedback melengking beberapa kali. Segera Cak Juki dan semua karyawannya ganti baju yang bersih, lalu bersama-sama menuju masjid. Workshop itu dibiarkan kosong. Aru pun ikut bergegas menuju masjid. Setelah selesai mereka segera kembali ke workshop dan mulai bekerja lagi. Aru merasa sedikit aneh dengan kondisi seperti itu, ia mencoba bertanya dan memberi solusi kepada Cak Juki. “Cak, kerjaan ini harus selesai malam ini kan?“ “Iya, kenapa Ru.“ “Apa tidak sebaiknya karyawan Cak Juki bergiliran sholatnya. Sebagian sholat, sebagian terus bekerja dan sebaliknya. Ini juga menyangkut efisiensi waktu kerja, agar pekerjaan bisa selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan, bahkan bisa lebih cepat dari yang ditentukan.“ Cak Juki tersenyum mendengar perkataan Aru. ”Apa harus begitu Ru.” ”Iya Cak, time is money, waktu adalah uang, kita harus bisa memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Kita hidup di dunia itu bagaikan dikejar-kejar oleh waktu yang tak pernah berhenti sekedippun.” ”Kamu selalu seperti itu ya?“ “Iya Cak, jadi kalau di kantor, saya bergantian dengan rekan saya. Dan pekerjaan selalu beres tepat pada waktunya, bahkan kadang-kadang lebih cepat dari deadline yang ditentukan.” “Ayo kita duduk.” Mereka berdua duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Cak Juki menghela nafas panjang, lalu bercerita. “Saya dulu juga berpikiran seperti kamu Ru, saya selalu mendahulukan kepentingan dunia, selalu takut bila pekerjaan tidak selesai pada waktunya. Tapi apakah kamu nggak sadar, bahwa mendahulukan yang serba Maha Mutlak itu lebih penting dari apapun meliputi alam semesta dan seisinya.” Aru diam dengan wajah mengernyit sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakang. “Kita terlalu takut terhadap dunia tempat kita hidup. Seolah dunia inilah yang menentukan nasib kita. Sebagai contoh, kalau bekerja di perusahaan, kita lebih takut jika tidak dapat menyelesaikan pekerjaan. Takut tidak naik gaji ketika kita sudah bertahun-tahun bekerja. Padahal kita selalu ikhlas dalam mengerjakan semuanya demi perusahaan. Ada juga yang takut jika suatu saat nanti tidak naik jabatan. Takut taraf hidup ekonomi kita tidak naik juga. Dan semua rasa takut itu melebihi rasa takut kita jika tidak naik ke surga pada saatnya nanti. Hukum Allah Maha Mutlak dari segala hukum semesta alam.” “Iya Cak, tapi pembicaraan saya tidak sampai ke situ Cak.” Cak Juki tersenyum mendengar Aru berkata. ”Ini hanya masalah efisiensi waktu Cak, saya hanya menawarkan sebuah solusi, yang mungkin bisa...” Belum selesai Aru berbicara, Cak Juki menepuk pundaknya, dan berkata. “Bekerja adalah selingan menunggu waktu sholat.” Ia tertegun dengan kata-kata itu, wajahnya memerah dan tidak sepatah kata pun keluar dari lidahnya. Cak Juki melepaskan tangannya dari pundak Aru. ”Sudah Ru, kita kerja lagi. Kata kamu time is money.” Cak Juki tersenyum dan langsung berdiri berjalan menjauh. Aru masih tertegun. Ia hela nafas panjang dan mengikuti langkah Cak Juki. Dalam hati ia bergumam. ”Ah nggak juga.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun