Air akan segera menjadi sumber daya paling berharga di muka bumi. Korporatokrasi pun paham bahwa dengan mengendalikan persediaan air mereka bisa memanipulasi ekonomi dan pemerintah. Tulis John Perkins dalam bukunya The Secret History of The American Empire: The Truth About Economic Hit Men, Jackals, and How to Change the World (terjemahannya berjudul Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga).
John Perkins hendak bercerita pergolakan di Bolivia pada tahun 1991 dipicu oleh Bank Dunia dan IMF. Kedua organisasi ini bersikeras agar pemerintah Bolivia menjual sistem air umum di Cocamba, kota terbesar ketiga, kepada perusahaan Bechtel. Atas desakan Bank Dunia, Bolivia lalu setuju untuk menarik biaya terkait dengan penyediaan air secara kontinyu kepada semua pelanggan, tanpa memedulikan kemampuan mereka membayar.
Bolivia apabila dilihat di peta terlihat seperti lobang donat yang terbentuk dari Peru, Chile, Argentina, Paraguay, dan Brazil. Praktis wilayahnya hanya daratan. Tapi siapa sangka, Bolivia memiliki daratan garam terbesar di dunia: Salar de Uyuni.
Garam meski termasuk kebutuhan manusia, harganya tidak semahal sebutir telur. Beda dengan abad pertengahan di Eropa, butiran kristal asin itu jadi barang yang sangat mahal dan menjadi alat pembayaran. Karena itu garam pernah disebut “white gold”.
Pada zaman Nabi SAW, ada riwayat bahwa beliau pernah memberi tambang garam kepada seorang sahabatnya, Abyadh. Tapi ketika beliau diberi tahu tambang itu seperti al-mâ‘a al’iddu, maka Rasul menariknya kembali dari Abyadh.
Al-mâ‘a al’iddu artinya “laksana air yang terus mengalir”. Dapat diartikan yang terus mengalir tidak terputus. Ini mengindikasikan: person, baik individu maupun perusahaan swasta, dilarang memiliki tambang yang didalamnya terkandung cadangan besar dan hampir tak terbatas.
Maka kontras dengan sistem kapitalistik sekarang: kebebasan memiliki harta secara perorangan. Ciri lain, memangkas pengeluaran sektor publik untuk jasa sosial. Nampak neoliberal bukan.
Indonesia mungkin akan impor garam dari Bolivia. Setelah sebelumnya impor dari Australia dan Singapura. Mungkin garam produksi kita secara mutu dan kualitas tidak sebagus produksi mereka. Sebagaimana karena kita tidak mampu membuat motor dan mobil, kita impor dari negara yang dulu menjajah kita: Jepang.
Agaknya sedikit hiburan, pesawat tidak perlu mendatangkan dari luar. Anak negeri mampu membuat. Dan, yang sedang menggeliat, industri alutsista.
Memang ganjil wilayah laut yang lebih luas daripada wilayah daratan, artinya sebagai negara kepulauan di tiap garis pantainya berpotensi sebagai ladang garam, urusan bumbu dapur—termasuk industri--masih impor.
Kita tahu, alasan impor tidak melulu soal ketidakmampuan. Kadang ada kongkalikong yang saling simbiosis untuk mengeruk keuntungan. Mereka singular. Dan, petani—seperti garam—jadi pihak yang dikorbankan.
Agaknya Johns Perkins keliru soal mengendalikan persediaan air bisa memanipulasi ekonomi. Tidak hanya air, garam pun bisa. Termasuk pula energi. Kini kita bisa menghitung mana yang belum dikendalikan! []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H