Kecerdasan intelektual Abu Hanifah sanggup menghadapi orang-orang dungu (safih) yang suka menghasut dan menuduhnya kafir dengan senyuman dan lapang dada. Abu Hanifah adalah seorang yang rendah hati, pendiam, berbicara seperlunya, dan tidak berbicara bila tidak ditanya. Apabila dalam suatu diskusi atau perdebatan ada yang berbicara kasar, Abu Hanifah menghadapinya dengan sabar.
Abu Hanifah memfatwakan tidak ada seorang pun berhak menetapkan kekafiran seorang muslim selagi masih tetap beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, walaupun telah berbuat maksiat. Barang siapa yang telah mengkafir-kafirkan seorang muslim, maka berdosa. Maka dari itu, imam fikih dari kalangan sunni ini memfatwakan untuk tidak mengkafirkan orang lain.
Abu Hanifah menyelami lautan pengetahuan agama, dengan keluasan dan kejernihan pikiran dari sang musyahid ini sangat berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Anehnya, manusia dungu masa kini begitu mudah mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya, menuduh orang lain salah tanpa ada kepastian dan kejelasan adanya dalil yang benar-benar meyakinkan.
Menghadapi orang dungu seperti ini, perlu kelengkapan intelektual yang kuat dalam membungkam pikirannya yang kolot dan jumud. Seperti Abu Hanifah dengan kecerdasan intelektualnya sanggup menghadapi orang-orang dungu.
Mari kita lihat percakapan di bawah ini antara Abu Hanifah dengan kaum Khawarij  yang terkenal dengan ringan tangan; membunuh dan mengkafirkan yang tidak sepaham dengan kelompoknya.
Peristiwa tahkim (mencari keadilan hukum melalui hakim atas perselisihan yang timbul) dalam perang siffin antara Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah, Khawarij mengkafirkan yang mau menerima penyelesaian secara damai berdasarkan tahkim.
Dalam sebuah pertemuan, pemimpin Khawarij memberi kesempatan kepada Abu Hanifah untuk memilih satu di antara dua alternatif: bersedia taubat atau mati. Namun, Abu Hanifah meminta agar pemimpin kaum Khawarij itu mau berdiskusi terlebih dahulu dan pemimpinnya bersedia.
Abu Hanifah bertanya, "Bagaimana kalau nanti kita berbeda pendapat?"
Pemimpin Khawarij menyahut, "Biarlah orang lain yang menetapkan keputusan."
Abu Hanifah tertawa sambil berkata, "Dengan demikian, berarti anda membolehkan tahkim, yaitu membolehkan bertahkim kepada pihak ketiga."
Pada akhirnya, pemimpin Khawari ini pergi dan membiarkan Abu Hanifah selamat.