Mohon tunggu...
Ahmad Jauhari Zuhair
Ahmad Jauhari Zuhair Mohon Tunggu... Guru - Saya mahasiswa PPG Prajabatan Gelombang 2 Tahun 2024

Saya gemar membaca novel dan saya ingin menuliskan di websetie ini mengenai hal kesastraan, atau seputar dunia politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mirisnya Kriminalitas Terhadap Guru

22 November 2024   05:30 Diperbarui: 22 November 2024   08:56 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengaturan perilaku siswa oleh guru seringkali menjadi topik perdebatan, apalagi jika terjadi seperti yang terjadi pada Bu Supriani di Pulau Sulawesi. Pemahaman terhadap topik ini berbeda-beda tergantung dari sudut pandang yang diambil dari bidang pendidikan, psikologi, hukum, dan sosial. Dalam pendidikan, hukuman sering kali dipandang sebagai cara mengatur perilaku guna menanamkan disiplin. Menurut BF. Skinner, seorang ahli teori pembelajaran, menyatakan bahwa penggunaan hukuman efektif dalam menghentikan perilaku negatif. Namun, ingatlah bahwa penghargaan lebih efektif daripada hukuman dalam mendorong perilaku positif. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa penjatuhan hukuman hendaknya dilakukan dengan hati-hati dan hanya dalam keadaan tertentu. Dari sudut pandang psikologis, penggunaan hukuman fisik atau verbal dapat berdampak jangka panjang terhadap kesejahteraan psikologis siswa.

Dalam pandangan Daniel Goleman, pendekatan yang berorientasi pada kecerdasan emosional dalam mengajar anak lebih disukai daripada memberikan hukuman keras yang mungkin berdampak negatif pada hubungan antara guru dan siswa. Dalam konteks hukum, di Indonesia, UU Perlindungan Anak membatasi segala tindakan kekerasan terhadap anak, termasuk di bidang pendidikan. Ada kemungkinan guru yang melanggar pembatasan tersebut akan dikenakan sanksi hukum, namun secara umum hal tersebut tidak dimaksudkan untuk melakukan tindakan pidana. Pengalaman Ibu Supriani menimbulkan pertanyaan tentang kriminalisasi guru yang berusaha menjaga disiplin melebihi standar yang diterima secara hukum dan sosial. Sejauh mana hukuman yang diberikan oleh seorang guru didasarkan pada nilai-nilai yang dianut dalam dunia pendidikan. Artinya menghormati nilai dan harkat dan martabat peserta didik, menghindari tindakan kekerasan fisik dan verbal, serta mengutamakan proses pengajaran. Sebaiknya guru menggunakan metode non-punitif seperti diskusi, mediasi, dan pendekatan berbasis solusi dalam menyelesaikan perilaku bermasalah. Sanksi dianggap tepat apabila bersifat mendidik, tidak mempermalukan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki kesalahannya.

Hal ini mencerminkan pentingnya guru untuk mendapatkan pelatihan pengelolaan kelas dan manajemen perilaku, agar keselarasan antara aspek pedagogi dan ketentuan hukum dapat tetap terjaga dengan baik. Hal ini juga menekankan pentingnya koordinasi peran guru, orang tua dan masyarakat guna menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung. aman dan suportif. Selain itu, persoalan pemberian hukuman oleh guru mencerminkan perbedaan harapan antara pendidik, orang tua, dan masyarakat. Seorang guru seringkali menghadapi situasi sulit di mana ia harus mempertimbangkan apakah akan menjaga disiplin di kelas atau berisiko dituduh melanggar hukum. Dalam situasi ini, pendekatan restoratif dianggap sebagai solusi yang efektif. Pendekatan ini lebih fokus pada peningkatan hubungan melalui dialog dan mencari solusi bersama, dibandingkan sekedar memberikan hukuman.

Menurut pandangan filsuf pendidikan John Dewey, pendidikan hendaknya bertujuan untuk membentuk individu yang bertanggung jawab secara moral, bukan sekedar menghukum kesalahan. Hukuman harus berfungsi sebagai sarana pendidikan, bukan sekedar bentuk retribusi. Jika digunakan dengan bijak, hukuman dapat menjadi cara untuk membantu siswa merefleksikan dampak tindakan mereka dan meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab yang mereka miliki. Selain itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk memberikan pelatihan khusus kepada guru untuk membantu mereka mengelola konflik dengan bijak. lebih efektif. Pelatihan ini mencakup manajemen kelas, komunikasi efektif, dan pemahaman mendalam tentang psikologi anak. Dengan cara ini, guru dapat menghindari penggunaan hukuman yang keras dan memprioritaskan pendekatan yang mendukung perkembangan siswa secara keseluruhan. Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk meningkatkan pemahaman tentang peran guru sebagai pendidik yang tidak hanya bertugas sebagai pengelola disiplin. Senada dengan yang dialami oleh Ibu Supriani, sangat penting menjaga komunikasi yang baik antara guru, siswa dan orang tua untuk mencegah kesalahpahaman yang berpotensi berujung pada tindak pidana. Sementara itu, perlindungan hukum terhadap guru juga perlu diperkuat agar mereka merasa aman dalam menjalankan tugasnya. Kebijakan yang adil dan seimbang diperlukan untuk melindungi hak-hak siswa dan mendukung peran guru sebagai pendidik.

Daftar Pustaka

Skinner, B.F. "Science and Human Behavior." New York: Free Press, 1953.

Goleman, Daniel. "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ." New York: Bantam Books, 1995.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (2002).

Dewey, John. "Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education." New York: The Macmillan Company, 1916.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun