Mohon tunggu...
Perspectively Sane
Perspectively Sane Mohon Tunggu... -

Perspectivelysane= perempuan berusia 25 thn yang sadar dan sangat percaya akan perspektif pribadinya yang (syukur Alhamdulillah) selalu diusahakan objektif. Hal ini didapatkan dari ayah yang selalu berkata "Lihatlah suatu permasalahan dari berbagai sisi". Thank you Pa, Ma.. :) Love u folks

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Terima Kasih, Rio

1 Juni 2010   06:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutatap langit jingga sore itu. Deburan ombak terlihat sangat tenang bila dilihat dari kejauhan, namun sebenarnya siap menelan siapapun yang ingin mencoba untuk mendekat. Tenang dari kejauhan, namun gelisah bila dilihat lebih dekat lagi. Persis seperti yang kurasakan.

Perasaanku tak menentu. Kilasan-kilasan memori terlintas di benakku seperti potongan-potongan film buram. Hari pertama pertemuanku dengan Rio, ketika pertama kali kami bercanda, hingga saat-saat mendebarkan yang membuat hatiku tak menentu. Hati yang ketika itu masih dalam keadaan terluka setelah traumaku dengan Wisnu, mantan pacarku yang meninggalkanku karena orang tuanya memaksanya menikah dengan gadis lain. Namun entah kenapa kehadiran Rio membuat aku optimis bahwa aku bisa membuka hatiku kembali secara perlahan.

Potongan film itu menjadi indah ketika sampai pada hari Rio menyatakan perasaannya padaku. Ah... betapa menyenangkannya mengingat saat itu. Aku yang saat itu tidak begitu paham dengan apa yang kurasa, namun tidak sabar untuk bisa membuka hatiku, akhirnya menerima pernyataan Rio. Sejak saat itu kami bersama.

Sayang sekali semua tidak seperti yang diperkirakan. Sama seperti deburan ombak di laut yang berada tidak jauh dari taman belakang rumah ini. Tenang dari kejauhan, namun ganas dan siap menerkam. Bayangan indah dan penuh harapan yang aku bangun dalam hubunganku dengan Rio ternyata tidak semulus itu.

Saat-saat penuh cemas, luka, dan pertengkaran mewarnai hubunganku dengan Rio. Tak sengaja aku meletakkan tanganku di dada, merasakan detakan jantung yang begitu kencang, mengingat luka batin yang kurasakan. Luka yang memaksaku terus bangkit dan berjalan penuh perjuangan, dengan terus membangun harapan bahwa suatu saat nanti akan ada bahagia menanti aku dengan Rio.

Tak kusangka aku menyiksa diriku terlalu jauh demi harapan dan rasa sayangku kepada Rio. Rio yang tak sengaja sering menyakiti hatiku, namun entah kenapa aku menerima itu semua dengan sabar dan terus berjuang demi perasaanku. Hingga kemudian aku muak dan memutuskan jika aku tidak dapat mendapatkan kebahagiaan bersama Rio, maka aku harus bisa mencari kebahagiaanku sendiri.

Aku bisa saja mendapatkan kebahagiaan bersama Rio, aku tahu itu, maka aku terus berusaha mencarinya. Namun ternyata hatiku tak kuat menahan semuanya lebih jauh lagi. Rasa sayangku kepadanya tidaklah berkurang seperti saat pertama aku memutuskan untuk membuka hatiku kepadanya. Aku tetap menyayanginya, walaupun dengan berat hati aku menetapkan keputusan untuk berhenti mencari kebahagiaan bersamanya, karena aku tidak melihat adanya kesempatan itu. Entah memang tidak ada, atau memang aku yang sudah tidak kuat lagi untuk menahan semuanya lebih jauh lagi.

Terdengar ketukan di pintu kamarku. Kilasan memori itu terhenti, aku menoleh mencari asal suara itu. Pintu kamar terbuka, sesosok kecil menyembulkan kepalanya dari balik pintu itu. Wajahnya yang mungil, matanya yang bulat besar bersinar penuh rasa ingin tahu, dan bibir mungilnya mengerucut lucu melihat aku ada di dalam. Aku tersenyum menatap sosok anakku, Sheila.

” Mama... ngapain?”, ia bertanya kepadaku.

”Nggak ngapa-ngapain sayang.. masuk, sini”, aku memintanya masuk bergabung denganku.

Sambil tersenyum senang, ia melangkahkan kakinya tanpa ragu, berlari menuju ke pelukanku. Ku angkat dia, lalu berbalik menghadap jendela dan mengajaknya melihat ke arah langit jingga. Matahari perlahan mulai masuk ke pembaringannya untuk beristirahat menyambut datangnya malam dan melanjutkan tugasnya menyinari dunia keesokan hari.

” Mama, mataharinya bulat yah.. kayak telur!”, tunjuk Sheila dengan antusias. Aku tersenyum mengiyakan, kutatap matahari itu, tatapanku kosong.

” Mama, kok mataharinya turun? Mau kemana, Ma? Kalau mataharinya pergi, gelap kan??”, Sheila meletakkan tangannya di permukaan jendela, seperti ingin menggapai dan menghentikan sang matahari agar tidak pergi.

” iya, mataharinya mau istirahat dulu, sayang..”, aku menempelkan pipiku ke pipi mungilnya dan merasakan hangat dan tentram yang menenangkan hatiku.

” terus, matahari bangunnya kapan? Matahari kalo nggak istirahat nggak bisa ya ma?Biar terang terus. Ila lebih suka kalo matahari ada, Ma. Sheila nggak suka malam, takut, Ma.. gelap... Ila nggak suka gelap”, ia menoleh menatapku dengan tatapan antara ingin tahu dan sedikit takut.

Aku membelai rambutnya dengan lembut, dan menatap wajah mungilnya, ” mataharinya bangun besok, Sayang. Nah, bulan itu ada untuk menggantikan matahari kalo udah malam, supaya malam nggak gelap. Kan kasihan kalo mataharinya terus-terusan bangun... bisa capek... jangan khawatir yah, besok akan ada matahari lagi”

Ya... besok akan ada matahari lagi untuk menggantikan sang bulan yang menerangi malam namun tidak seterang matahari. Tidak ada yang kekal, bahkan sinar mataharipun bisa hilang, namun ia akan kembali lagi esok hari dengan sinar yang lebih terang dan lebih hangat untuk menyinari kehidupan. Sama seperti kisah hidupku.

Terdengar suara langkah kaki pelan di belakangku. Arya, suamiku, berdiri disampingku dan merangkulku. Aku tersenyum menatapnya. Ia mengecup perlahan dahiku. Arya menatapku dengan penuh arti, mengerti dan memahami yang aku rasakan.

Sheila dengan antusias menunjuk ke matahari dan bercerita ke Arya tentang apa yang baru saja dia dengar dariku. Namun semua suara itu tak begitu jelas kudengar karena aku sudah tenggelam ke dalam lamunanku lagi. Lamunan tentang kisahku yang lalu.

Rio, bila kamu bisa mendengarku, aku ingin kamu tahu, bahwa aku mengerti apa yang kamu katakan ketika itu.

” Maya, aku cinta kamu, dan aku juga tahu bahwa kamu juga merasakan yang sama. Namun mengertilah, terkadang cinta tidak cukup. Suatu saat kamu akan tahu, bahwa ada sesuatu yang tidak dapat kutawarkan kepadamu, yaitu kedamaian. Aku harap kamu memahami hal itu, mungkin bila bukan sekarang, nanti kamu akan memahaminya”, itu katamu dulu Rio... Jawaban dari pertanyaan mengapa kita harus berpisah padahal kita masih sangat saling mencintai. Ketika aku sudah bisa melupakan masa lalu yang dulu terjadi di hubungan kita dan siap melangkah lagi menuju masa depan yang baru.

Kini aku sangat mengerti, bahwa kedamaian itu kudapatkan di Arya, bukan dirimu. Ah Rio, andaikan aku masih dapat bertemu denganmu di dunia ini, aku akan menemuimu dan mengenalkan Sheila kepadamu. Aku yakin ia akan menggapmu seperti ayahnya sendiri. Kamu akan bisa mengajarkan begitu banyak hal kepadanya, Rio... seperti ketika kamu mengajarkanku tentang kehidupan.

Sudah 5 tahun berlalu, Rio. Baru beberapa hari yang lalu kuketahui tentang kabar itu. Ah, Rio....Andai saja saat itu aku tidak serta merta meninggalkanmu karena rasa sakit yang tak terhingga, andai saja aku mau mengerti lebih baik lagi, andai saja aku tidak memutuskan untuk melupakanmu dan menganggapmu tidak pernah ada dalam hidupku, andai saja aku tahu saat itu adalah pertemuan terakhir kalinya dengan dirimu. Ingin sekali rasanya aku kembali kepada saat itu untuk tetap menemanimu pada saat-saat terakhirmu, ketika kanker hati itu merenggut hidupmu. Aku akan berbisik di telingamu dan mengatakan, ”terima kasih, Rio....” , terima kasih untuk semuanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun