Pengaruh Politik Terhadap Norma Dan Perilaku
Istilah Politik Hukum hendaknya jangan dibuat rancu dengan Kebijaksanaan Hukum. Dalam beberapa dekade desain hukum terpengaruh tren politik hukum internasional dengan asimilasi konvenan dan ratifikasi, sehingga menjadi keharusan agar kebijakan harmonisasi hukum masuk juga kedalam sistem hukum Indonesia, bahkan pidana.
Implementasi ratifikasi konvenan dalam norma hukum pidana Indonesia secara keseluruhan mempengaruhi nilai, asas, dan perilaku hukum pidana, mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan hukum pidana Internasional yang sebenarnya tidak banyak yang bisa diterapkan mengingat disparitas perilaku dan budaya, kehilangan karakter dan non-organik.
Hal ini menunjukkan bahwa menjadikan konvenan menjadi hukum positif memang mungkin tidak dimaksudkan untuk mengambil alih sepenuhnya secara tekstual, melainkan lebih menekankan kepada substansi konvenan untuk disesuaikan dengan hukum nasional masing-masing negara, padahal justeru masalahnya terletak pada substansi yang dianggap sesuatu yang baru padahal ada dalam masyarakat dalam ungkapan yang berbeda.
Hukum pidana dalam perkembangannya terlalu linear dengan paradigma politis yang tunduk keluar tapi memaksa kedalam sehingga seolah memuliakan kesepakatan politik dengan argumen bahwa konvensi-konvensi telah diratifikasi sebagai masa depan hukum dan merupakan sebuah langkah yang visioner.
Prinsip pembaruan diuraikan dalam Naskah Akademik RUU KUHP [hal. 168] namun ternyata dipandang sebagai alas untuk melakukan suatu kodifikasi dalam mencegah diterbitkannya norma hukum pidana dalam aturan pidana di luar KUHP yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip umum hukum pidana, yang berarti konsekuensi dari pemikiran semacam ini akan merubah konstelasi hukum secara keseluruhan baik sebelum maupun sesudahnya.
Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa kegagalan hukum pidana seringkali terjadi dilapangan dan bukan pada norma, namun kenyataannya justeru norma itulah yang melahirkan banyak anomali terhadap pemahaman praksisnya karena rumusan penyesuaiannya merelatifisir anasir heterogenitas Indonesia yang sangat jauh berbeda dengan negara lainnya.
Maxim Hukum
Perlu diperhatikan laporan Komisi I Kongres PBB ke-6, antara lain menegaskan bahwa pembangunan dapat meningkatkan kriminalitas apabila direncanakan secara tidak rasional, timpang atau tidak seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan modal serta tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral.
Alasan pembaharuan hukum pidana oleh  Muladi disebut bahwa KUHP nasional di masa-masa yang akan datang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang telah disepakati oleh masyarakat beradab. [Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang, 1990, hlm. 3]
Secara a-contrary beliau malah mengemukakan lima karakteristik Bahwa hukum pidana nasional masa datang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.
Kita harus mengakui dengan jujur bahwa apabila perumusan dan pembentukan hukum pidana diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan politik maka yang terjadi adalah bagaimana cara menjerat lawan politik, banyak norma kodifikatif yang keluar dari maksud aselinya meski ada banyak pakar yang dilibatkan namun maknanya berubah.
TAP MPR No. II/MPR/1993 menurut penulis menjabarkan political will bangsa Indonesia dengan baik, dinyatakan, bahwa arah dan kebijaksanaan pembangunan nasional di bidang hukum nasional sebagai sarana ketertiban dan kesejahteraan yang berintikan keadilan dan kebenaran, harus dapat berperan mengayomi masyarakat serta mengabdi pada kepentingan nasional (Bab II Huruf G Butir 3).
Bukanlah hal  yang berlebihan ketika Prof. Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin menyebut, "hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa". Perumusan pidana tanpa menyesuaikan dengan asas-asas pidana umum hanya menciptakan pintu kriminalisasi.
William Zevenbergen mengutarakan bahwa politik hukum mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk dijadikan hukum. [Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, hlm. 19] Maka pertanyaannya, "apakah maxim (pepatah yang diadopsi sebagai asas) hukum kita (yang bahkan jarang disentuh) tidak patut dijadikan hukum?" sementara konsep negara hukum mengacu kepada jiwa bangsa (volkgeist).
Logika praktis penulis mengatakan, bila kita ingin mengganti KUH Pidana lama karena tidak sesuai lagi dan dikatakan sebagai produk kolonial lalu kenapa justeru sekedar berpindah dari politik kolonial ke politik internasional? Tidak ada bedanya, bahkan bakal lebih bermasalah.
Bila awalnya kita berupaya menterjemahkan untuk mengisi kekosongan namun sekarang justeru mempedomani asas, prinsip dan doktrin asing untuk mengubah, yang menurut penulis justeru berarti memantapkan desain asing, kita tidak bisa bilang bahwa maxim di Indonesia yang kaya dengan adat dan budaya ini tidak beradab.
Yap Thiam Hien mengatakan, "Dalam konteks tulisan ini hukum dilihat sebagai kesatuan peraturan yang dibuat oleh semua kuasa membuat perundang-undangan, lembaga kekuasaan kehakiman dan putusannya; semua prosedur dan proses pembuatan produk perundang-undangan dan penegakannya serta semua sumber hukum; semua gagasan, asas, nilai dan norma yang memberi jiwa dan landasan bagi tertib hukum dan prinsip-prinsip yang memperoleh pengakuan dunia internasional". [Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, 1983, hal. 19-20]
Yang perlu digarisbawahi adalah "memperoleh pengakuan internasional", bukan mengadaptasi tren internasional, disinilah letak komunikasi politik hukum internasional dari legal reasoning seorang Advokat dalam kebijaksanaan hukum sejak awal perjuangan kemerdekaan, tidak semua pengakuan harus berdasarkan adaptasi dan persuasi politik internasional melainkan justeru penemuan hukum yang revolusioner yang dapat secara signifikan mengubah pandangan dunia, membentuk sentimen positif.
Adat bukanlah perilaku primitif melainkan tidak pernah diberikan kesempatan untuk berevolusi, oleh karena itulah sekarang saatnya adat diberikan perhatian khusus untuk digali dan digunakan.
Evolusi Sebagai Revolusi
Pada akhirnya norma hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, namun bukan berarti harus menanggalkan nilai-nilai yang dianut, seperti pandangan hidup, ideologi dan dasar negara Pancasila yang telah menjadi sumber dari segala sumber hukum. [Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, 2011, hlm. 90-91]
Input hukum merupakan gelombang kejut berupa tuntutan yang bersumber dari masyarakat yang pada akhirnya menggerakkan proses hukum. [Lawrence M. Friedmann, The Legal System: A Social Science Perspective, (Pent. M. Khozim), 2011, hlm. 13]
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiolosos, dan nilai-nilai sosiokultural masyarakat Indonesia. [Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, 2011, hlm. 43]
Penulis mengutip pertanyaan Valerine J.L. Kriekho, "apakah hukum adat masih diakui eksistensinya?" [Arah Pembaharuan Hukum Pidana Nasional-Penggunaan Hukum Adat, Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013, Jakarta, 26-27 November 2013]
Politik hukum pada awal pasca kemerdekaan Indonesia berupaya mengisi kekosongan hukum, maka penggunaan undang-undang yang diadopsi dari Belanda merupakan suatu kebijakan logis yang dapat diterima. Sekarang, kenyataan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat kita adalah akibat dari politisasi hukum, bukan politik hukum.
Meskipun sebagai penggagas pembaruan hukum nasional namun Mochtar Kusumaatmadja pernah mengatakan bahwa, Proses modernisasi telah melenyapkan dasar kemasyarakatan dari hukum kebiasaan tradisional hukum adat (hampir) sebagian besar tanah air. [Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Buku I, 2013, hlm. 131]
Berkaitan atau tidak namun jiwa Kongres ke-6 PBB tahun 1980 di Caracas terurai dalam prinsip dan desain politik hukum Indonesia yang terserak, antara lain "nilai-nilai sosial dasar; kepentingan kolektif dalam masyarakat; perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan sanksi; perlindungan masyarakat dari gangguan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan; kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan; nilai-nilai intrinsik dan prasyarat transendental; mengabdi pada kepentingan nasional; tidak boleh mengabaikan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia; tidak menanggalkan nilai-nilai yang dianut; tidak boleh merongrong kualitas lingkungan hidup; hukum pidana dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiolosos, dan nilai-nilai sosiokultural masyarakat Indonesia; konsep negara hukum mengacu kepada jiwa bangsa".
Peran Idealisme Advokat Dalam Pembaruan Hukum Dan Politik
Daniel S. Lev  dalam studium generale [ulangtahun ke-6 PSHK Indonesia, 2004] mengatakan, dalam masa demokrasi parlementer terlihat peran hukum yang sangat menonjol dari Advokat. Hukum dianggap begitu penting sehingga ada kesepakatan bahwa dalam berpolitik boleh menganggu yang lain, tapi tidak boleh menganggu hukum. Pada 1966 Advokat, hakim dan jaksa yang reformis membentuk organisasi Pengabdi Hukum yang menyerukan untuk kembali ke negara hukum. Saat itu Perhimpunan Indonesia dibentuk oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di Leiden, Belanda.
Dalam rapat BPUPKI 1945, halus sekali persuasi politik hukum murni dari seorang Maria Ullfah, beliau mengatakan "Saya tidak bilang hak asasi tapi hak dasar. Bung Karno memang selalu keras terhadap saya". Kemudian lahirlah pasal 27 yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Peran Advokat angkatan pertama menjadi salah satu pilar berdirinya Republik Indonesia, sangat signifikan dalam pergerakan kemerdekaan yang membuat Bung Karno yakin bahwa sistem tradisional dan kekeluargaan lebih cocok bagi masyarakat Indonesia.
Profesi Advokat menonjol dalam sejarah negara modern  sebagai sumber ide dan pejuang modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, konstitusionalisme dan seterusnya. [PSHK Indonesia, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi tentang  Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, 2011, hal. VII-VIII]
Dalam ilustrasi yang disampaikan Daniel S. Lev ke-Advokatan Indonesia mencapai bentuknya yang sempurna dalam rahim kolonial dan tidak sepenuhnya absah dalam perhatian ibunya yang berjarak separuh lingkaran bumi. Anak itu terakhir lahir sebagai anak yatim namun cukup tangguh. [Daniels S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, 1990, hal. 310]
Sikap seorang advokat dibangun untuk melawan setiap kenyataan yang serupa dengan  pernyataan sperti yang dicatatat oleh Nino Oktorino [Runtuhnya Hindia Belanda, 2013, hlm. 10] dari kalimat Gubernur Jendral Jhr. de Jonge yang dengan angkuh mengatakan, "Belanda berada di sini (Hindia Belanda) selama 300 tahun lagi bila perlu dengan pedang dan pentung".
Penghinaan terhadap pribadi sudah menjadi bagian dari sejarah keberadaan advokat sejak jaman perlawanan terhadap perlakuan kolonial kepada bangsa Indonesia.
Pergerakan dalam perjuangan non-kooperatif melawan Pemerintah Kolonial Belanda sudah jauh terkubur, bahkan terabaikan oleh para Advokat saat ini, keberadaan Advokat yang sebenarnya, merawat perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur sebagai cita-cita didirikannya negara. Semangat nasionalisme untuk berjuang demi kemerdekaan menjadi pertimbangan Advokat Indonesia untuk terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan, bahkan hingga raga menjadi penjamin demi terselesaikannya Proklamasi.
Adv. Agung Pramono, SH., CIL.
Kongres Advokat Indonesia [KAI -- Pimpinan TSH]
Anggota Forum Intelektual KAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H