Nyoman Sukena, seorang petani sederhana dari Bali, tiba-tiba menjadi sorotan publik setelah dituduh melanggar hukum karena memelihara empat ekor landak jawa (Hystrix javanica) yang ia temukan di kebunnya. Kasus ini telah menimbulkan perdebatan luas di masyarakat, terutama mengenai sejauh mana perlindungan hukum terhadap satwa liar bisa diterapkan tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan.
Sukena, yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi atau pemahaman mendalam tentang peraturan perlindungan satwa, awalnya hanya bermaksud merawat hewan-hewan itu. Ia menemukan landak-landak tersebut dalam kondisi lemah di sekitar kebunnya, lalu dengan hati nurani dan naluri manusiawi, ia memutuskan untuk menolong mereka. Namun, niat baiknya kini membawanya ke ancaman hukuman penjara hingga lima tahun karena dianggap melanggar undang-undang konservasi.
Kasus ini telah memantik reaksi dari berbagai pihak yang menganggap hukuman yang diberikan kepada Sukena terlalu berat. Andrea Wiwandhana, founder dari CLAV Digital, berpendapat bahwa ini adalah contoh bagaimana sistem hukum dapat membebani masyarakat kecil yang berniat baik. "Kita harus melihat konteks lebih luas---niat Nyoman Sukena adalah untuk menyelamatkan satwa, bukan mengeksploitasi atau membahayakan mereka. Hukuman seperti ini bisa menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat untuk bertindak berdasarkan kebaikan hati mereka," kata Andrea.
Nyoman Sukena bukanlah seorang pemburu satwa liar atau pedagang ilegal yang mencari keuntungan pribadi. Dia adalah seorang petani yang hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan, yang bahkan tidak tahu bahwa tindakannya bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum. Sukena menemukan keempat landak jawa tersebut dalam keadaan terluka dan kelaparan, di mana ia kemudian memberikan perawatan seadanya di rumahnya.
Namun, penegakan hukum yang ketat di Indonesia mengenai satwa dilindungi justru berakhir menyudutkan Sukena. Ia dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang melarang segala bentuk pemeliharaan atau perburuan satwa yang dilindungi tanpa izin resmi dari pemerintah. Landak jawa memang termasuk salah satu satwa dilindungi, namun banyak pihak menilai bahwa vonis terhadap Sukena tidak melihat konteks kemanusiaan di balik tindakannya.
Kasus ini juga memperlihatkan betapa rentannya masyarakat adat dan pedesaan terhadap hukum yang mungkin tidak sepenuhnya mereka pahami. Seorang warga biasa yang bertindak berdasarkan moralitas pribadi kini terjebak dalam pusaran sistem hukum yang seharusnya melindungi satwa, namun pada saat yang sama, dapat menindas orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang regulasi yang berlaku.
Banyak pengamat sosial dan aktivis lingkungan menilai bahwa kasus Sukena seharusnya ditangani dengan pendekatan yang lebih humanis. Pemerintah diharapkan bisa memberikan edukasi dan informasi yang lebih mudah diakses oleh masyarakat mengenai perlindungan satwa, terutama di daerah-daerah pedesaan. Sebaliknya, ancaman hukuman yang terlalu berat bagi Sukena bisa menciptakan preseden yang buruk dan justru merusak kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Apalagi, Sukena sama sekali tidak berusaha untuk memperjualbelikan atau mengeksploitasi landak-landak tersebut. Ia hanya ingin memberikan perawatan hingga satwa-satwa itu pulih. Kondisi ini menimbulkan simpati di kalangan masyarakat luas, yang merasa bahwa Sukena hanya melakukan hal yang benar secara moral, meskipun mungkin tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Kasus Nyoman Sukena telah memicu munculnya petisi daring yang menyerukan pembebasannya dari segala tuntutan hukum. Petisi ini mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk turut bersuara dan mendukung Sukena, sehingga ia bisa terbebas dari ancaman penjara yang tidak pantas ia terima. Anda juga dapat turut mendukung Nyoman Sukena dengan menandatangani petisi yang tersedia di situs Change.org pada tautan berikut: https://chng.it/hSMRfywf6V.
Sampai saat ini, ribuan orang telah menandatangani petisi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap Sukena. Mereka berharap bahwa pemerintah dan penegak hukum bisa mempertimbangkan kembali kasus ini dan memberikan solusi yang lebih bijak. Ada juga desakan agar aturan hukum mengenai konservasi satwa dievaluasi ulang, khususnya dalam penerapannya di masyarakat adat dan pedesaan yang memiliki keterbatasan akses terhadap informasi.
Kisah Nyoman Sukena bukan hanya tentang seorang petani yang berusaha menyelamatkan satwa yang ia temukan, tetapi juga merupakan refleksi dari bagaimana hukum bisa berpotensi menindas masyarakat kecil yang tidak memahami aturan secara mendalam. Ini adalah momen untuk mempertimbangkan kembali pendekatan yang lebih manusiawi dalam penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan niat baik.
Harapan besar masyarakat yang mendukung Sukena adalah agar pemerintah dapat melihat kasus ini dari sudut pandang kemanusiaan, di mana niat baik seseorang untuk merawat dan melindungi hewan yang terluka seharusnya tidak berujung pada jeruji penjara. Sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong dan solidaritas, kita seharusnya bisa lebih bijak dalam melihat kasus seperti ini.
Pembebasan Nyoman Sukena bukan hanya soal membebaskan satu orang dari hukuman yang tidak adil, tetapi juga sebagai simbol bahwa hukum harus berfungsi untuk melindungi, bukan menghukum orang-orang yang berniat baik. Kita berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat luas bahwa perlindungan satwa liar memang penting, namun perlindungan terhadap hak-hak dan niat baik manusia tidak kalah pentingnya.
Mari kita dukung Nyoman Sukena dan ikut bergerak dalam petisi daring yang telah dibuat. Terus suarakan keadilan untuknya, agar sistem hukum kita menjadi lebih berperikemanusiaan dan berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H