"Di Pacuan Kuda Tanjungsari, umpamanya, ketika ada balap kuda, biasanya tiap Agustus, penonton dari sejumlah daerah berdatangan untuk menonton. Ini membuat arena di sekitar jalan untuk kuda berpacu penuh sesak, termasuk kebun milik warga," katanya.
Hal sama, terjadi juga di Kampung Pacuan Kuda Heubeul di kawasan Anggrek, sebelum pindah ka kawasan Dano. Penonton di pacuan kuda ini, konon, lebih heboh lagi, karena kuda yang ikut lomba, biasanya kuda terpilih dari berbagai daerah di Jawa Barat, bahkan luar Jawa Barat.
Bah Aka mengaku, ketika remaja, pernah beberapa kali  menyaksikan balap kuda di Kampung Pacuan Kuda Heubeul di kawasan Anggrek, pada tahun enam puluhan. "Saking banyaknya warga yang menonton, mencari tempat yang bagus untuk menonton pun susah," kenangnya.
Semua itu terjadi, Â sebelum tahun 1990-an. Sementara dari tahun 1990-an ke sini, popularitas balap kuda di Sumedang mulai menurun. "Penyebabnya, karena pemerintah mulai jarang menggelar acara balap kuda," kata Bah Aka. Namun demikian, bukan berarti peminatnya tidak ada.
Khusus di Tanjungsari, arena pacuan kudanya yang sebenarnya bersejarah, sejak tahun dua rebuan, sudah tidak bisa digunakan lagi untuk pacuan kuda.
Penyebabnya, di areal pacuannya sudah berdiri rumah warga. Bahkan rumah-rumah itu, tak sedikit yang berada persis di tepi arena pacu. "Praktis, sejak tahun dua rebuan, apalagi sekarang, di lapang itu tidak pernah ada lagi balap kuda," kata Bah Aka.
Untunglah, kata dia, Pemprov Jabar memindahkan Pacuan Kuda Arcamanik, Kota Bandung, ke kawasan Tanjungsari sekitar dua tahun lalu. Dengan demikian, tradisi balap kuda di Tanjungsari dan Sumedang bisa terawat dan lestari. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H