Sekian tahun lalu, walaupun masih bisa dihitung dengan jari, media berbahasa Sunda cukup membuat lega karena jumlahnya bukan hanya dua seperti sekarang. Dulu, pernah terbit Kudjang, Giwangkara,Koran Sunda (Harian), Cupumanik , selain Mangle dan Giwangkara. Â Namun kini, yang tersisa dan masih bertahan hanya dua, Mangle (kini dimiliki tokoh Sunda Uu Rukmana) dan Galura (milik PT Pikiran Rakyat).
Sejauh yang diketahui penulis, media Sunda yang kini hanya tinggal nama tersebut, sebenarnya  hadir untuk memberikan pilihan bagi warga Sunda. Kontennya pun terbilang beda dengan media bahasa Sunda yang sudah mapan seperti Galura dan Mangle.
Cupumanik, Â umpamanya. Ketika masih terbit, Cupumanik memberikan sesuatu yang beda dalam sudut pandang pemberitaannya. Walau diarahkan untuk seperti Intisari, tapi cukup bagus dan menyimpan harapan. Pendekatan jurnalistik yang diterapkannya pun cukup merangsang, beda dengan media yang ada. Sayang, Cupumanik yang kalau tidak salah digawangi sastrawan Sunda Dadan Sutisna Sungkawa tersebut, tidak bertahan lama.
Walhasil, yang bertahan dan tetap memiliki pangsa pasar stabil, tetap hanya dua, Galura dan Mangle.
Sebenarnya banyak yang khawatir, termasuk di antaranya penulis, Galura dan Mangle juga akhirnya tidak bisa bertahan. Keduanya angkat tangan, tanda tidak sanggup meneruskan perjuangaan.
Tapi syukurlah, hingga kini keduanya tetap bertahan. Pembaca kedua medianya tetap ada.
Galura, dengan sentuhan sastrawan dan penulis novel terkenal Eddy D. Iskandar serta redpel Rosyid E Abby dan Nanang Supriatna, tetap ditunggu dan diminati warga Jawa Barat.
Mangle setelah dimilik Uu Rukmana dan keredaksiannya dipegang sastrawan Tatang Sumarsono, rajin melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi dan Pemda, selain membina pembaca setianya. Ini membuat Mangle, tampak kokoh, walau beberapa redakturnya banyak yang mengundurkan diri, begitu Mangle dimiliki Uu Rukmana.
Beberapa kali penulis bertemu dengan Kang Uu Rukmana dalam sebuah kesempatan di TVRI Jabar. Penulis juga sering melakukan komunikasi dengan redpel Galura, Rosyid dan Nanang. Yang ditangkap penulis dari mereka, adalah optimisme besar untuk memajukan medianya masing-masing. Adanya optimisme besar dari mereka tentu sangat membanggakan. Ini bisa jadi gambaran bahwa Mangle dan Galura, akan terus bertahan.
Namun tentu, optimisme dari pengelolanya saja tidak cukup untuk membuat media dengan bahasa yang harus dikembangkan dan dipeliharan pemerintah tersebut, tetap bertahan. Tentu, perlu ada keterlibatan pihak lain untuk mempertahankan dan mengembangkannya.
Pihak yang diharapkan sekali terlibat adalah pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Daerah. Bagaimana caranya, mesti dibicarakan bersama oleh Pemerintah dan media bersangkutan.
Sepertinya, pemerintah kurang bijak jika membiarkan pengelola media bahasa Sunda berjuang sendiri mempertahankan medianya agar tetap hidup. Sementara, tugas memelihara dan mengembangkan bahasa daerah (termasuk bahasa Sunda), adalah termasuk tugasnya Pemerintah juga..
Terakhir, mudah-mudahan media berbahasa Sunda---dan juga bahasa daerah lain di Indonesia, tetap bertahan bahkan terus berkembang! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H