Yogya dan Pergeserannya
Ada suatu pergeseran budaya di Yogya. Bukan lagi masalah mode busana atau trend pergaulan anak muda akan tetapi lebih mendasar : bahasa. Ya, Bahasa Jawa ternyata semakin kehilangan tempatnya dalam keseharian masyarakat Yogya. Tidak hanya di lingkungan formal, seperti kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah, akan tetapi juga di lingkungan terkecil warganya : keluarga. Bahasa Jawa telah tergantikan oleh Bahasa Indonesia. Tanpa bermaksud menolak Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional, hal ini harus diakui sebagai sebuah kemunduran budaya di tempat kerajaan Jawa yang masih legitimate di mata dunia berdiri.
Bahasa Indonesia memang telah mengakar kuat dikalangan masyarakat Yogya, Kota Perjuangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa komunikasi utama bagi para pejuang kemerdekaan di masa lalu. Ini tentu sangat dipahami karena di masa tersebut, saat Yogyakarta menjadi Ibukota RI, kota ini dipenuhi oleh para pejuang yang berasal dari berbagai pelosok tanah air. Sudah barang tentu bisa dimengerti bahwa bahasa yang paling menjangkau mereka semua adalah Bahasa Indonesia.Bahasa nasional ini bahkan turut membakar semangat kemerdekaan rakyat. Walaupun begitu, saat itu masyarakat Yogya tidak kehilangan Bahasa Jawanya, sebagai media komunikasi antar sesama orang Jawa.
Terutama dalam keluarga, Bahasa Jawa menjadi bahasa keseharian. Dengan bermacam tingkatannya, mulai dari ngoko pada teman atau orang yang lebih muda sampai kromo inggil sebagai penghormatan bagi orang tua, ataupun seseorang yang dihormati seperti guru, ataupun pejabat desa. Bahasa Jawa menjadi simbol budaya Jawa yang harusnya terlestarikan secara baik di Yogya yang notabene adalah lokasi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketika kemudian hal diatas dibandingkan dengan kondisi saat ini, kita temukan fakta yang sangat berbeda. Berbagai perkembangan yang terjadi telah merubah masyarakat Yogya menjadi sangat terbuka. Memang itu sangat wajar karena masyarakat adalah komunitas social yang dinamis. Terlebih dengan pengaruh globalisasi yang menyentuh hampir semua sisi kehidupan masyarakat. Akan tetapi hal tersebut secara nyata turut menggerus akar budaya Jawa yang selama ini menjadi dasar hidup masyarakat Jawa.
Kita temukan bahwa saat ini masyarakat Yogya, sampai dalam tingkat keluarga, sangat jarang ditemui yang menggunakan Bahasa Jawa secara benar, apalagi di kalangan anak-anak dan pemudanya. Dalam acara-acara pertemuan warga-pun, Bahasa Jawa semakin langka penggunaannya. Pada beberapa wilayah desa, memang masih ditemui acara warga selain acara ritual seperti pemilihan ketua RT/RW menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar acara, akan tetapi lebih banyak diantaranya yang meninggalkan penggunaan bahasa daerah tersebut dan memilih menggunakan Bahasa Indonesia.
Realitas Bahasa Jawa
Tidak bisa dielakkan lagi kenyataan bahwa reputasi Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan telah membuatnya menjadi sebuah daerah terbuka. Artinya tentu bahwa Yogya harus selalu menyambut baik setiap orang yang berminat ngangsu kawruh di wilayahnya, siapapun orang itu, darimanapun asal sukunya, atau apapun budayanya. Hal itu membuat Yogyakarta semakin kaya dengan keragamannya. Dengan mobilitas berbagai macam budaya yang sangat dinamis, kota pelajar ini kemudian mentranformasikan dirinya menjadi sebuah identitas kultural universal. Hal itulah yang kemudian membuat masyarakat Yogya turut berubah, tentu selain atas kuasa media yang membawa kita pada budaya global.
Dengan maksud untuk menghormati semakin beragamnya komunitas yang mendiami wilayah itu akhirnya Bahasa Jawa pun tergantikan dengan Bahasa Indonesia yang lebih diterima semua kalangan. Inilah mengapa kita akan lebih mudah menemukan seorang ibu-ibu dengan dasternya sambil membawa sapu lidi kemudian menjawab pertanyaan seseorang asing dengan Bahasa Indonesia daripada yang menjawab dengan Bahasa Jawa.
Realitas tersebut bisa diartikan dalam dua sudut pandang. Pertama, si ibu tadi memang bukan bukan orang Jawa, tapi hanya kebetulan bermukim di Yogya. Kemudian kemungkinan kedua adalah, bahwa ibu tersebut adalah orang Jawa tetapi telah terbiasa menganggap semua orang asing itu hanya mengerti Bahasa Indonesia. Hal ini memang sangat umum ditemui di Yogya saat ini, bahkan diantara orang-orang yang sudah saling tau bahwa mereka adalah orang jawa dan sama-sama bisa berbahasa jawa juga, tetapi mereka lebih memilih berbahasa Indonesia walaupun tidak dalam kondisi formal.
Dalam lingkungan keluarga, memang sudah sangat lumrah ketika orang tua kemudian membiasakan anak-anak balitanya berbahasa Indonesia daripada berbahasa Jawa. Dalam berbagai kesempatan anak-anak balita itu dibiasakan berbahasa Indonesia walaupun orang tuanya selalu berbahasa jawa pada orang lain. Pada akhirnya anak tersebut tumbuh dengan kebiasaan berbahasa Indonesia, walaupun sebenarnya dia paham Bahasa Jawa. Paham disini saya maksudkan untuk menyebut bahwa tingkat pemahaman mereka hanya pada taraf pasif. Dia mengerti apa yang orang bicarakan dalam bahasa jawa tetapi mereka sendiri tidak mampu mengikuti pembicaraan tersebut dengan Bahasa Jawa.
Dalam banyak kasus terjadi juga, seorang anak yang sejak balita diajarkan orang tuanya untuk berbahasa Indonesia tetapi dalam pergaulannya dia menemui banyak temannya yang berbahasa jawa. Akhirnya anak tersebut menjadi bisa berbahasa Jawa. Yang agak aneh adalah bahwa dia kemudian hanya bisa berbahasa jawa dengan teman-temannya saja, tetapi tidak pada orang lain, bahkan kerabatnya sendiri. Hal ini kemudian bisa dipahami bahwa anak ini sadar bahwa dalam berkomunikasi dengan bahasa jawa ada aturan yang harus diperhatikan, terutama masalah penggunaan bahasa jawa sesuai dengan tingkatan-tingkatannya, seperti penggunaan bahasa kromo alus pada orang yang lebih tua, kromo inggil pada orang tua, ataupun ngoko pada teman sebaya. Disini dia menyadari bahwa dia tidak bisa atau belum mampu berbicara dengan Bahasa Jawa kromo pada orang-orang lain yang lebih tua karena dia memelajari Bahasa Jawa dari temannya sendiri yang bisa dipastikan juga hanya bisa berbahasa Jawa ngoko. Karena itulah anak ini kemudian selalu berbahasa Indonesia dengan para kerabatnya yang lebih tua.
Kenyataan miris ini seharusnya kembali diperhatikan oleh masyarakat Yogya, sebagai bagian dari entitas Masyarakat Jawa. Apa nanti jadinya bila generasi penerus kita ternyata tidak ada yang bisa berbahasa Jawa ? apakah kita rela, suatu saat Bahasa Jawa yang kita anggap sebagai warisan adiluhung nenek moyang kita hilang dari peredaran kehidupan masa depan ? tentunya tidak.
Untuk itu, pengajaran Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal harusnya kembali dimassifkan. Tidak hanya dalam ranah formal sebagai komponen penilaian akan tetapi diusahakan adanya sebuah internalisasi komprehensif bagi diri anak didik. Artinya pengajaran Bahasa Jawa harus “dibumikan” pada siswa dengan metode yang lebih mudah diterima. Selain itu, pegajaran tidak hanya dalam hal tata bahasanya tetapi juga diperkenalkan pada sisi historis filosofisnya sebagai warisan kebudayaan. Ini bisa dijalankan misal dengan mengaktifkan Perkumpulan Bahasa Jawa di sekolah-sekolah, bahkan di universitas, yang tidak hanya memelajari Bahasa Jawa an-sich, tetapi juga budaya Jawa secara massif. Upaya seperti penyebutan dan plangisasi nama-nama lembaga formal dalam Bahasa Jawa di Solo, Jawa tengah, bisa juga dilihat sebagai salah satu usaha melestarikan Bahasa Jawa (termasuk aksaranya) dalam kehidupan keseharian masyarakat. Terlepas dari formalitas yang ada, hal itu tetap bernilai dalam upaya re-kulturasi masyarakat Jawa yang semakin mengglobal ini.
Pada akhirnya peran keluarga sebagai tempat pendidikan awal bagi setiap manusia harus diperbaiki. Marilah mengajarkan anak-anak kita berbahasa Jawa mulai sekarang. Itulah salah satu cara termudah untuk membentuk karakter anak-anak kita. Dengan berbagai aturan kebahasaan yang melekat padanya, sikap hormat dan kebersamaan dalam masyarakat akan dapat dikuatkan kembali. Tanpa maksud memaksa, hal ini memang membutuhkan kesadaran yang kuat dari dalam diri orang-tua sendiri, sebagai penanggungjawab utama atas pertumbuhan putra-putrinya untuk memberikan pemahaman bagi mereka akan budaya Jawa yang mengalir dalam darahnya. Mengerti Bahasa Jawa pastinya adalah keharusan bagi seorang Jawa, akan tetapi memahaminya, tentu saja merupakan sebuah kemuliaan diri yang akan sangat dihargai.
Akhirnya saya sampaikan bahwa sekali lagi tulisan ini bukanlah menolak penggunaan Bahasa Indonesia di Yogya, tapi penulis berharap bahwa masyarakat Yogya bisa berusaha lebih baik untuk memertahankan Bahasa Jawa sebagai bagian dari budayanya.Marilah kita menghormati seluruh saudara-saudara kita yang belajar dan bermukim di Yogya walaupun budaya mereka bukan Jawa tetapi jangan sampai kita kehilangan ‘kejawaan’ kita. Seperti pernyataan menarik dari Sri Sultan HB IX dalam pidato pelantikannya sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat pada 18 Maret 1940, “,,,Walaupun saya mengenyam pendidikan barat yang sebenarnya namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa. Sepenjang tidak menghambat kemajuan, maka adapt akan selalu menduduki tempat utama dalam Keraton yang mewarisi tradisi tersebut.” (“ Al heb ik een uitgesproken westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adapt, zo dese niet remmend werkt op de onwikkeling, een voorname plaatz blijven innemen in de traditierijke Keraton”)
Semaki Gedhe, Yogya
23.40 Tgl 16-Mar-12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H