Namun, jika orang punya kesempatan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, seperti budak yang dibebaskan, itupun baik, "Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu.Â
Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayananNya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hambaNya. Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia" (1 Kor 7:21b-23).
Dan Rasul Paulus menutup rangkaian jawabannya tentang asketisme seksual dan perkawinan, dalam Bab 7 Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus dengan nasihat bagi para janda, "Isteri terikat selama suaminya hidup.Â
Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. Tetapi menurut pendapatku, ia lebih berbahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya. Dan aku berpendapat, bahwa aku juga mempunyai Roh Allah" (1 Kor 7:39-40).Â
Bagi Paulus, lebih baik kalau seorang janda tetap tidak menikah setelah suaminya meninggal. Kalaupun ingin menikah, ia harus memilih seorang pria Kristen sebagai suami. Yang dimaksudkan Kristen di sini, seiring perjalanan Sejarah Gereja, tentu saja Kristen Katolik karena pada zaman Paulus hanya ada satu Kristen yaitu Kristen yang Apostolik, yang kemudian dikenal sebagai Kristen yang Katolik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H