Mohon tunggu...
Leonardo Wibawa Permana
Leonardo Wibawa Permana Mohon Tunggu... Dokter - Dokter, Dosen, Trainer Manajemen dan Akreditasi Rumah Sakit dan Fasyankes Lainnya, Narasumber Seminar, Penulis.

dokter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mustahil Cerdas Tanpa "Belajar Berpikir"!

4 November 2024   10:40 Diperbarui: 4 November 2024   10:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, saya pengajar sederhana, pernah 'membimbing dan mengajar' anak-anak dari tingkatan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga para mahasiswa dalam beberapa program studi, dari keperawatan hingga kedokteran. Saya juga tentu pernah menjadi siswa dan mahasiswa. Dan dalam beberapa tahun, saya berkesempatan menjadi pengurus di suatu yayasan pendidikan. Tapi, sekali lagi, saya hanya pengajar sederhana, yang dalam cara sederhana pula, mengamat-amati, sembari terus mengajar dan mendidik, apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak didik kita, dari siswa/i hingga mahasiswa/i.

Satu jawaban penting yang, maybe right, maybe wrong, menurut saya, adalah apa yang saya terakan dalam judul tulisan ini, 'mustahil cerdas tanpa belajar 'berpikir' ! Mengapa saya berkesimpulan demikian ? Karena pengalaman menyampaikan bahwa sebagain besar anak didik yang saya temui bergulat dan berkutat dengan kemampuan menghapal, luar kepala. Jadinya ? Semua ilmu 'di luar kepala' alias nyaris tidak ada yang 'tinggal di otak'.

Kalau saya bertanya kepada mahasiswa tentang suatu definisi, misalnya penyakit, mereka akan menjawab, sebagian, tentu, secara teoretik, dengan kalimat panjang yang nyaris sempurna. Dapatnya dari mana ? Kalau dulu dari textbook, sekarang dari Om, Mbah, Kakek, Opa, Eyang, Google. Kemudian saya minta mereka tutup textbook atau cuekin Google untuk sementara dan 'bicarakan' apa yang saya tanya dengan bahasa sendiri, kebanyakan kelabakan. Ini salah satu bukti pendapat saya bahwa ilmu itu 'di luar kepala'. Apalagi kalau saya meminta menguraikan berbagai hal tentang isu yang saya tanyakan, dengan 'bahasa sendiri'. Bagi sebagian anak didik ini bisa jadi 'kiamat' !

Mengapa bisa begini ? Kita menoleh lagi ke belakang, jauh ke belakang. Lagi-lagi, saya sangat mungkin salah, tetapi saya juga mengalaminya sejak lima puluhan tahun yang lalu, menurut saya, 'apapun kurikulumnya', minumnya ...., eh, metodenya lebih banyak menghapal, bukan meretas, mengurai, membongkar ilmu dengan dua pertanyaan paling penting yang disumbangkan fisiologi, ilmu faal, yaitu 'filologi dan mekanistik', 'mengapa dan bagaimana'. Apakah kita mampu menghapal semuanya, atau paling tidak sebagian besar sedangkan otak kita hanya 1,25 hingga 1,5 kilogram ? Yang terakhir ini hanya analogi liar.

Jika kita membiasakan anak didik belajar dengan metode filologi dan mekanistik, sejak sedini mungkin, kebiasaan untuk berpikir, dengan segala bentuknya, akan menjadi 'budaya belajar' ! Metode filologi dan mekanistik 'memaksa' anak didik atau siapa saja untuk berpikir, bukan hanya  menghapal. Menghapal itu penting, untuk sejumlah hal yang perlu diingat. Selebihnya ? Membangun konstruksi ilmu pengetahuan dengan berpikir !

Berpikir dalam metode filologi dan mekanistik, tanpa meninggalkan bentuk-bentuk pertanyaan lainnya, akan membudayakan anak didik membuat 'adonan demi adonan' ilmu pengetahuan yang solid dan padat, bukan seperti tepung yang akan berhamburan jika ditiup 'angin lupa'. Berpikir dalam metode filologi dan mekanistik memampukan anak didik 'menyusun dan menata' adonan demi adonan ilmu pengetahuan itu sehingga tidak akan saling mendorong dan terjadi fenomena FIFO, first in first out, ilmu yang baru masuk ke kepala, ilmu yang lama terbuang karena lupa. Berpikir dalam metode filologi dan mekanistik membantu anak didik untuk mengompres ilmu pengetahuan dalam bentuk 'winzip' sehingga tidak begitu makan tempat di otak, tetapi dapat diurai kapan diperlukan. Berpikir dalam metode filologi dan mekanistik juga membantu anak didik untuk membangun konstruksi ilmu pengetahuan secara 'holistik sekaligus panoramik' sehingga nyaris semua ilmu dan pengetahuan saling berkaitan, berhubungan, dan bertautan satu sama lain dalam hubungan yang logis dan harmonis.

Sekali lagi, mustahil cerdas tanpa belajar 'berpikir' ! Saya meyakini ini dan ini adalah hasil penelitian sederhana saya secara empirik, sebagai pengajar sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun