Kita perlu senantiasa menampilkan kredibilitas, kompetensi dan supremasi kita melalui gaya berkomunikasi, kekuatan mempengaruhi orang lain, dan membuat kesan yang tidak terlupakan. Semua orang sadar bahwa warna, kerapian, kesesuaian, dan pilihan bahan pakaian membawa efek psikologis pada pihak yang mencerapnya.
Langkah pertamaku di kantor baru itu kuhias dengan senyuman dan ucapan selamat pagi. Sejenak beberapa karyawan yang ada di situ terkesima, bahkan ternganga. Aku menduga, mereka amat jarang, bahkan nyaris tak pernah 'mendengarkan' ucapan atau sekedar bisikan semacam itu dari para 'petinggi' perusahaan. Aku percaya, ada yang mengganggapku berlebihan menuliskan ini. Tapi, sungguh-sungguh, ini kenyataan yang kualami.
Sejurus kemudian, beberapa wajah yang terkesima dan tegang tampak mencair, dan seketika itu pula ulasan senyum kaku menghiasi wajah mereka. 'Lumayan,' batinku, 'masih terselip senyuman di antara deretan wajah yang tetap tegang, hampir-hampir tanpa ekspresi segar.'
Dengan menegas-negaskan langkah, aku berjalan menuju ruang Direktur, yang dari kemarin kutahu, menempati suatu pojokan di bagian Barat kantor ini. Kuhenyakkan bokong ke kursi teramat empuk yang ada di situ. Kursi itu bahkan mengenggelamkan tubuhku yang berukuran sedang. Aku tersenyum sendiri, geli. 'Rasain loe, siapa suruh mungil.' Sesungguhnya aku tidaklah mungil-mungil amat, tapi untuk ukuran kursi ini, aku memang tak ada apa-apanya.
Baru menikmati seteguk teh hangat yang kubuat sendiri, seorang perempuan, kutaksir berusia empat puluhan, nyaris tanpa sapuan apapun pada wajahnya, menghampiri meja kerjaku setelah terlebih dulu mengetuk pintu dan kupersilakan masuk.Â
Sederetan kata mengalir deras dari mulutnya sambil membungkuk hormat,'Saya Rani, sekretaris Direktur, siap membantu Bapak bila dibutuhkan, kantor saya di samping kantor Bapak dan ekstensi telepon saya 215.'
Terus terang, aku hampir tersedak mendengar 'berondongan' yang lebih mirip laporan komandan upacara bendera. Tapi, aku tetap tersenyum sambil menyalaminya. "Okelah, Bu Rani, aku senang bertemu dengan Anda. Kalau ada perlu aku akan menghubungi Anda. Trims ya.' 'Berarti saya sudah boleh pergi, Pak ?' ujarnya tetap dalam gaya 'formal'.
 'Silakan, terimakasih', sahutku. 'Terimakasih kembali, Pak,' tuturnya sambil kembali membungkuk hormat.
Aku tertegun, inikah budaya yang ada di perusahaan ini ? Tapi, ada suara lain dalam batinku,'Wait and see. Jangan apriori dulu. Kalaupun memang begitu, pelan-pelan, ubahlah ! Ingat kalimat manis dari Denis Waitley, 'Dalam hidup ini hanya ada dua pilihan yang paling penting : terima keadaan seperti apa adanya atau terima tanggung jawab untuk mengubahnya.'
Siang itu aku pulang setelah seharian berkutat dengan berbagai macam pekerjaan administratif di kantor. Terukir sesuatu dalam benakku,'Aku harus belajar dan belajar lebih dan lebih banyak lagi tentang 'perusahaan baru'ku ini.' Tak kenal maka tak sayang, kata orang.Â
Tapi, mudah-mudahan bukan sebaliknya yang terjadi padaku, semakin mengenal maka semakin tak menyayangi. Ah, pasti tidak dan tidak boleh ! Â Ini tantangan yang harus kuhadapi dan .......kumenangkan !