Mohon tunggu...
Leonardo Wibawa Permana
Leonardo Wibawa Permana Mohon Tunggu... Dokter - Dokter, Dosen, Trainer Manajemen dan Akreditasi Rumah Sakit dan Fasyankes Lainnya, Narasumber Seminar, Penulis.

dokter

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kehancuran Emosi, 'Emotional Smeltdown'

18 Oktober 2024   15:35 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:45 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin lama manusia semakin tenggelam dalam dunia yang dipenuhi tekanan, ketidakpastian, serta sejumlah besar hal yang bisa jadi mengkhawatirkan bahkan menakutkan bagi sebagian orang. Di sisi lain, dorongan bahkan desakan untuk menggapai dan mencapai banyak hal yang dipercaya mampu mencerminkan keberhasilan dalam hidup juga menjadi tekanan tersendiri secara mental. Sejak masa kanak-kanak, manusia didorong bahkan didesak untuk berprestasi, mencapai nilai tertinggi, menjadi juara kelas, hebat dalam seni ini dan itu, mahir dalam berbahasa ini dan itu, berprestasi dalam olahraga ini dan itu, dan sebagainya dan seterusnya. Di masa dewasa, sangat banyak orang berusaha mencapai puncak tertinggi dalam karir, memiliki kekayaan materi sebanyak mungkin, meraih gelar tertinggi secara akademik dan fungsional, serta tentunya sedapat mungkin berada di 'kasta puncak' dalam relasi sosial.

Apakah semua itu buruk ? Tentu saja tidak. Namun banyak dari hal-hal itu sangat bisa berdampak buruk jika berusaha digapai dan dicapai secara membabi buta tanpa mempertimbangkan kemampuan diri pribadi. Pada ujungnya terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan dan fakta ini menimbulkan masalah termasuk masalah mental, di antaranya 'Emotional Meltdown'.

Secara manusiawi, mungkin, hampir semua orang pernah mengalami, entah jarang atau bahkan sering, Emotional Meltdown dalam perjalanan kehidupan. Emotional Meltdown atau 'Kehancuran Emosi' bukan diagnosis medis, melainkan respons terhadap stres. Di antara mereka yang mengalaminya mungkin ada yang punya masalah disregulasi atau gangguan pengaturan emosi, namun tidak selalu demikian karena terkadang kehancuran emosi hanyalah reaksi normal terhadap situasi yang buruk bahkan sangat buruk.

Bila hal ini terjadi sesekali, seseorang tiba-tiba menangis atau melampiaskan amarah dan merasa lepas kendali, terbebani dengan tekanan dan sejumlah hal buruk dalam hidup yang tidak terduga, bukan berarti ada sesuatu yang 'salah' dengan orang itu. Ini mungkin merupakan indikasi bahwa dia sedang melalui masa-masa sulit dan beberapa kebutuhan pribadi dan emosionalnya tidak terpenuhi.

Ada sejumlah pencetus Emotional Meltdown seperti terlalu lelah karena gangguan tidur, apalagi dalam malam demi malam, rasa lapar yang berat sehingga mengalami hipoglikemia, kadar gula yang rendah dalam darah, terlalu sibuk atau menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan dan tanggung jawab yang menyebabkan kewalahan, transisi besar dalam kehidupan seperti kehilangan pekerjaan dan sumber keuangan, memulai atau mengakhiri suatu hubungan, pindah ke rumah baru, menikah, memiliki bayi, lulus perguruan tinggi, dan banyak transisi kehidupan normal lainnya membuat seseorang lebih rentan secara emosional, stres yang terakumulasi, yang menumpuk tanpa ada cara untuk mengatasinya,  pengalaman traumatis yang belum atau tidak terselesaikan, tidak dapat mengekspresikan diri dan memendam emosi akibat frustrasi atau peristiwa yang membuat stres, serta adanya masalah hubungan yang belum atau malah tidak tertangani dengan baik, dalam rumah tangga, relasi sosial, ataupun di tempat kerja.

Lantas, bagaimana mencegah Kehancuran Emosi agar tidak berakibat buruk bahkan fatal bagi diri sendiri dan orang lain ? Silakan simak tips berikut ini :

Pertama : Tetapkan rutinitas yang dapat menurunkan tingkat stres dengan istirahat yang cukup, melakukan latihan fisik teratur dan terukur, dan berlatih meditasi.

Kedua, 'bersahabat' dengan alam. Lebih banyak waktu di alam dapat memperbaiki suasana hati, mengurangi stress, dan diharapkan membantu mencegah gangguan emosi.

Ketiga, menulis catatan pribadi. Catatan pribadi adalah salah satu sahabat yang mampu menerima seseorang apa adanya tanpa celaan apalagi penghakiman, dan catatan seperti ini tentu sangat baik untuk kesehatan mental.

Keempat, merasakan dan menerima. Merasakan semuanya, betapa buruknyapun itu, serta menerimanya dan memberikan waktu kepada diri sendiri untuk menangis, bisa jadi akan membantu membentuk perasaan yang lebih baik.

Kelima, sharing. Tentu saja sharing kepada orang yang tepat karena ada saja orang yang SMOS, Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang. 

Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang SMOS tetapi siap membantu siapa saja yang mengalami Emotional Meltdown, walaupun mungkin belum atau tidak mampu meretas penyebab stresnya, setidak-tidaknya berperan dalam menenangkan emosinya dan meningkatkan motivasi hidupnya. Saling bertolong-tolonganlah dalam menanggung beban di dunia yang 'semakin menyeramkan' ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun