Mohon tunggu...
Satya Permadi
Satya Permadi Mohon Tunggu... Junior Researcher -

Seorang yang senang mengamati banyak hal, terkadang menuangkannya dalam tulisan, lebih sering dituangkan dalam bentuk fotografi. https://permadisatya.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Problematika Kota Urban: Angkot Bogor

4 Oktober 2017   05:04 Diperbarui: 4 Oktober 2017   14:51 5798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mengenal Angkot? Dulu, angkot adalah moda transportasi yang paling efisien, karena jalan relatif lebih sepi dan jarak antara rumah dan pusat bisnis yang cukup jauh-jauh. Angkot ada untuk mengakomodir penumpang dari perkampungan-perkampungan yang terbangun secara sporadis, masuk ke jalan-jalan kecil dengan jumlah penumpang yang ala kadarnya. Semakin ramai daerah-daerah tersebut, jumlah angkot semakin banyak juga. Saat ini keberadaannya justru menimbulkan sebuah permasalahan yang serius karena angkot telah menjadi biang keladi dari kemacetan-kemacetan di kota urban.

Beberapa waktu lalu, Kota Bogor pernah dinobatkan sebagai kota termacet kedua di dunia versi Waze. Akibatnya, bisa dibayangkan, Wali Kota Bogor saat itu, Bima Arya, sampai mengamuk turun ke jalan mengatur lalu lintas. Setelahnya, banyak razia angkot digelar kepolisian untuk menertibkannya. Tapi, hal itu toh tidak berlangsung lama. Beberapa bulan setelahnya, suasana Kota Bogor kembali seperti semula. Ya, tetap macet, tetap banyak angkot yang ngetem sembarangan, lalu lintas tetap semrawut, pedagang kaki lima tetap tidak beraturan.

Bogor dijuluki kota seribu angkot karena keberadaan angkot yang sangat banyak dan memperuwet kondisi lalu lintas yang sudah ruwet. Bima Arya pun mengakui bahwa transportasi umum di Kota Bogor amburadul pada berita TribunNewsBogor. Dia menemukan bahwa ketika seluruh angkot di Bogor melakukan aksi mogok massal tahun lalu, kondisi lalu lintas, baik di tengah kota, maupun di wilayah penyangga Kota Bogor, relatif lebih lancar.

Bagaimana tidak? Perilaku supir angkot adalah momok bagi pengendara lainnya. Mereka acap kali berkendara ugal-ugalan, salip kanan, salip kiri, memotong dari lajur kanan ke lajur kiri lalu berhenti secara mendadak, dll. Jangankan memperdulikan pengguna jalan lainnya, mereka berkendara seperti tidak kenal Tuhan. Terkadang, ajaibnya, perilaku para supir angkot itu menular ke beberapa pengendara mobil pribadi. Seperti misalnya, berputar-balik di tempat yang dilarang. Atau bahkan ikut-ikutan mengambil jalur sebaliknya saat sedang macet. Maklum saja, disini, di Indonesia ini, kesalahan yang dilakukan secara massal kan bisa dianggap sesuatu yang benar dengan alasan "itu, yang lain juga kok, bukan saya aja".

Selain itu, kemacetan juga terjadi akibat banyaknya angkot yang ngetem (dan kadang berjamaah) di jalan yang sempit. Bahkan, angkot tersebut tidak jarang malah berhenti dibawah rambu dilarang berhenti, seperti di Jalan Kapten Muslihat Kota Bogor. Penindakan oleh polisi cukup sering dilakukan terhadap supir angkot yang membandel tersebut, namun tidak berpengaruh banyak akan keadaan. Dalam rentang waktu tidak lebih dari satu jam setelah selesai penindakan, mungkin sudah ada lagi angkot yang berhenti di tempat yang sama. Polisi pun cenderung lebih mendiamkan kejadian-kejadian selanjutnya. Apabila kondisi lalu lintas sudah macet parah, kadang polisi pun terpaksa hanya menegur angkot itu untuk cepat jalan tanpa adanya penindakan.

Sejak adanya transportasi berbasis online yang murah meriah, jumlah pengguna angkot pun semakin turun drastis. Penumpang mulai beralih. Menjadikan pendapatan supir angkot semakin berkurang banyak. Mereka mulai tambah seenaknya lagi di jalan dengan pelbagai alasan.

Kadang, hal tersebut mungkin bisa dimaklumi, tanpa membenarkan, bahwa dengan sistem kerja setoran tiap hari, para supir angkot ini lama-kelamaan menjadi tidak waras. Bisa dibayangkan, saat ini lalu lintas di Bogor semakin hari semakin macet, ditambah lagi dengan sepinya penumpang, para supir angkot malah menghabiskan waktu yang lebih banyak di jalanan yang macet dengan pendapatan yang lebih sedikit. Sedangkan tuntutan untuk setoran dari pengusaha angkot tetap sama. Pendapatan mereka saat ini habis hanya untuk setoran dan bensin saja.

Selain itu, maraknya supir tembak juga menjadi salah satu perhatian. Akibat hal ini, banyak supir angkot yang arogan, baik kepada penumpangnya, maupun pengguna jalan. Dan kita tidak pernah tahu asal-usul supir angkot tersebut. Dengan sistem kerja yang tidak formal tersebut, telah menjadikan para supir angkot tidak mengenal hukum. Karena sekalipun mereka dipenjara karena melakukan tindakan kriminal, toh mereka bisa kembali lagi menjadi supir angkot dengan mudahnya tanpa harus takut ketahuan oleh penumpang.

Sudah seharusnya, seluruh pemerintah daerah, tidak hanya Pemkot Bogor, dapat lebih bijak dalam melihat permasalahan angkot ini. Seharusnya para supir angkot itu bisa didata dan diberi lisensi khusus yang diterbitkan oleh dinas terkait (misalnya dinas DLLAJ), sehingga dapat diawasi secara ketat. Selain itu, mereka yang benar-benar bekerja sebagai supir angkot perlu dididik, dibina, dan diberi pelatihan. Tidak hanya berguna untuk memperbaiki perilaku mereka di jalan raya, namun bisa juga sebagai bekal di hari tuanya.

Pemkot Bogor sampai sekarang masih belum berhasil mengatasi permasalahan angkot. Sejauh ini, adapun kebijakan yang sudah berjalan adalah pembatasan jumlah angkot yang beroperasi dengan sistem shift. Untuk jangka pendek, kebijakan itu bisa dibilang efektif, namun kebijakan tersebut tidak menyelesaikan masalah dalam jangka panjang.

Jumlah penduduk dan jumlah kendaraan semakin hari semakin banyak, sedangkan jalan di Kota Bogor hanya segitu-gitu saja. Jangankan dibuat bertingkat, diperlebar saja susah karena pemerintah tidak punya dana yang cukup akan hal tersebut. Solusi yang paling efektif untuk mengurangi kemacetan adalah dengan menyelesaikan permasalahan angkot ini. Pemkot Bogor diharapkan dapat menyeimbangkan fokus antara kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendeknya, serta memiliki ketegasan dalam pengaplikasian setiap kebijakannya.

Dulu, dengan hadirnya Transpakuan pada tahun 2007, muncul sedikit optimisme akan hadirnya sistem transportasi umum yang lebih baik di Kota Bogor. Ternyata semangat itu hanya sementara saja. Ciut akan sikap para supir angkot yang tidak menyukai adanya perubahan. Padahal ide tersebut rencananya akan dilakukan bertahap, dimulai dengan rute trayek yang paling ramai dan panjang. Bahkan, saat ini keberadaan Transpakuan sudah tidak terdengar lagi.

Menurut berita yang dilansir Liputan6, Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) selaku pengelola bus Transpakuan menghentikan sementara operasional bus sejak bulan april 2017 kemarin. Hal tersebut karena perusahaan terus merugi tanpa adanya perhatian lebih baik dari Pemkot Bogor. Saat ini, halte-halte Transpakuan sudah mulai tak terawat, dan banyak beralih fungsi menjadi tempat berjualan, tempat nongkrong ojek online, dan bahkan menjadi rumah bagi gelandangan.

Dua tahun terakhir, Pemkot Bogor giat menjalankan rencana kebijakan untuk mengkonversi 3 angkot menjadi 1 bus. Momen matinya layanan bus Transpakuan ini bertepatan dengan munculnya wacana baru tersebut yang mirip-mirip dengan sebelumnya. Proses konversinya nanti dilakukan oleh para pengusaha angkot, yang sekarang statusnya sudah bergabung di dalam beberapa koperasi sebagai badan hukumnya.

Saat ini proses tersebut masih mengalami beberapa kendala seperti ketidaksanggupan pengusaha angkot tersebut untuk membeli bus yang dirasa terlalu mahal dan belum lagi keluhan mengenai pendapatan pengusaha angkot yang terus menurun, serta turunnya harga jual kembali angkot-angkot yang sudah tua. Pemkot Bogor melihat ini sebagai kendala yang membuat konversi 3 angkot menjadi 1 bus tidak dapat disegerakan. (TribunNews)

Menariknya lagi, sebetulnya, ide agar pengelolaannya tersebut tetap diberikan kepada pengusaha lokal adalah harapan dari Organda Kota Bogor, yang artinya, pengusaha angkot itu sendiri. (kotabogor.go.id) Namun demikian, hal tersebut malah menjadi permasalahan baru bagi Pemkot Bogor karena ketidaksanggupannya. Beruntungnya, Pemkot Bogor saat ini berusaha terus menjalin komunikasi, serta kedepannya akan memberikan penyuluhan yang sifatnya edukasi dalam menjalani bisnis transportasi.

---
Arsip: www.permadisatya.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun