Mohon tunggu...
Permadina Kanah Arieska
Permadina Kanah Arieska Mohon Tunggu... -

Pemilik Blog: kanadizain.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Peningkatan Tax Ratio, Solusikah?

30 Juli 2017   18:43 Diperbarui: 30 Juli 2017   18:47 4112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menargetkan rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) tahun 2018 mencapai 11-12 persen. Angka ini meningkat dari 2016 lalu yang hanya sebesar 10,36 persen.(merdeka.com 06/06/2017). Tax ratio yang meningkat diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara. Apa itu tax ratio dan bagaimana cara menghitungnya?

Secara umum, rumus penghitungan tax ratio adalah:

Tax Ratio=(Jumlah Penerimaan Pajak/GDP)

Memang Tax ratio pada hakikatnya selain menjadi ukuran penerimaan pajak, juga menunjukkan beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Semakin tinggi tax ratio, semakin besar pula penerimaan pajak dan otomatis semakin leluasa pemerintah mengelola penerimaannya. Namun di sisi lain, beban pajak yang harus ditanggung masyarakat juga semakin tinggi. 

Hal ini akan menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan akan meningkatkan beban hidup. Jika dilihat memang Tax ratio Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, negara anggota G-20, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika. Pemerintah menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan tax ratio adalah dengan mengoptimalkan penerimaan pajak, terutama dengan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak. 

Pertanyaannya, apakah dengan menaikkan Tax Ratio akan secara otomatis meningkatkan penerimaan Pajak? Pada kenyataannya, target tax ratio yang tinggi tidak selalu menjamin penerimaan pajak yang tinggi. Tax ratio yang tinggi memiliki kemungkinan bisa menurunkan penerimaan pajak. Hal ini mungkin terjadi apabila wajib pajak menganggap bahwa kenaikan target penerimaan yang dibebankan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan berimbas pada semakin tinggi beban pajak masyarakat. Hal ini akan membuat masyarakat melakukan segala upaya untuk melakukan tindakan yang bisa jadi melanggar hukum guna mengurangi beban pajak. 

Dalam UU APBN 2017, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.750,3 triliun, belanja negara Rp2.080,5 triliun, dan pembiayaan Rp330,2 triliun. Tahun 2017, pendapatan negara akan semakin bertumpu pada penerimaan perpajakan, yang mencapai 85,6 persen dari total pendapatan negara. Penerimaan perpajakan dalam APBN 2017 ditargetkan sebesar Rp1.489,9 triliun.

Terlihat jelas bahwa, hampir sebagian besar penerimaan negara masih dioptimalkan dari sektor penerimaan pajak.  Padahal, pada dasarnya, penerimaan negara terbagi atas 2 jenis penerimaan, yaitu penerimaan dari pajak dan penerimaan bukan pajak yang disebut penerimaan negara bukan pajak (PNBP).  Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. UU tersebut juga menyebutkan kelompok PNBP meliputi: 

penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; 

penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; 

penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun