Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Gampang Menjadi Pegiat LMDH

23 Juli 2022   09:03 Diperbarui: 23 Juli 2022   09:10 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bantuan yang membuat mereka merasa lebih nyaman dengan kemiskinannya. Bahkan banyak orang di desa yang justru merasa senang di sebut miskin karena dengan miskin mereka berkesempatan untuk menerima berbagai bantuan dari Negara.

Tidak nyaman menjadi pegiat LMDH. Kata  "nyaman" lebih tepatnya di maknai sebagai  "Menguntungkan". Artinya sangat tidak menguntungkan menjadi pegiat LMDH ketika keuntungan itu di maknai sebagai "materi". Kenapa ? dari dulu LMDH selalu di identikkan dengan Perhutani. 

Dipahami sebagai "kaki tangan" Perhutani. Sehingga mayoritas LMDH mengalami kesulitas ketika hendak membangun kerjasama dengan pihak lain terutama "Birokrasi". Sebagai contoh : ketika kementrian kehutanan menggelontorkan program Kebun Bibit Rakyat (KBR), LMDH yang kesehariannya bersentuhan dengan bibit, phon dan hutan, selayaknya menjadi kelompok/lembaga prioritas penerima program. 

Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ratusan LMDH yang mengusulkan KBR dengan menggunakan bendera LMDH di tolak dengan alas an bahwa LMDH itu dibawah Perhutani jadi tidak bisa menerima program KBR, karena KBR di peruntukkan untuk hutan rakyat. Padahal semua LMDH bergiat tidak hanya di dalam kawasan hutan Negara tetapi juga di luar kawasan, termasuk hutan rakyat. 

Begitu pula terjadi saat LMDH mengusulkan ijin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan non formal bagi anggota LMDH, bukannya di beri ijin tetapi malah di pertanyakan urgensinya LMDH dengan pendidikan. Aneh.... Tapi nyata.

Tidak nyaman menjadi pegiat LMDH. Tuduhan sebagian orang yang menyebut pegiat LMDH hanya sebagai "elite" desa yang tidak peduli pada persoalan pesanggem dan penyadap. 

Bahkan tuduhan juga datang dari "oknum" Perhutani yang berprasangka bahwa Pegiat LMDH hanya duduk santai menunggu datangnya sharing tanpa berbuat apa-apa. Tuduhan yang meungkin sebagian kecil mengandung kebenaran. Tetapi sebagian besar merupakan ketidakbenaran. Karena hanya sebagian kecil LMDH yang mnerima sharing dalam jumlah besar. 

Sebagian besar menerima sharing di angka ratusan ribu, juga ribuan. Bahkan banyak LMDH yang tak pernah menerima sharing karena kawasan hutannya adalah hutan lindung.

Tidak nyaman menjadi pegiat LMDH. Apalagi di masa sekarang. Masa dimana pengelolaan hutan Jawa diwarnai dengan P 39 yang melahirkan kelompok kelompok baru pengelola hutan yang di dukung oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara LMDH di cap sebagai bagian dari lembaga masyarakat yang gagal mengelola hutan. 

Sementara para pegiat LMDH tidak pernah di ajak ketemu dan diskusi serta di tunjukkan kesalahan-kesalahan yang di lakukan. padahal para pegiat LMDH sangat terbuka untuk di evaluasi dan di kritik. "Mbok yao" kata orang Jawa kalau memang salah ya mestinya di tunjukkan kesalahannya lalu di di perbaiki.

Di tengah beragam persoalan dan tantangan yang di hadapi, saya selalu di buat kagum dan bahagia melihat masih sangat banyak sahabat-sahabat pegiat LMDH yang tetap bertahan. Tetap istiqomah. Tetap tegar menghadapi semuanya. Dan luar biasanya mereka tidak menjawab tudingan-tudingan yang tak baik itu dengan kata-kata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun