Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Perempuan yang Tidak Sekolah

2 Januari 2021   14:58 Diperbarui: 2 Januari 2021   15:12 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alkisah. Di suatu kampung di tengah hutan pinus, suatu hari di jam sekolah saya bertemu  anak perempuan. Usianya masih 10 tahun. Pakaiannya lusuh, tubuhnya dekil dan bertelanjang kaki.

"Kok, tidak sekolah?"

"Tidak, pak"

"Mengapa tidak sekolah?"

"Tidak boleh sekolah"

"Tidak boleh sama siapa?"

"Orang tua"

Spontan saya mengajak anak itu pulang ke rumah. Dalam hati saya bertanya tanya "Mengapa ada orang tua yang tidak membolehkan anaknya sekolah?"

Sampailah saya di sebuah rumah kecil ukuran 5 x 7 meter. Ruang tamunya masih terbuka. Belum ada dinding. Lantainya tanah. Ada satu meja panjang dan dua tempat duduk. Yang satu kursi panjang. Orang di kampung menyebutnya risban. Yang satunya bangku panjang.

Masuk ke dalam rumah melewati sebuah pintu yang sangat unik. Pintunya terbuat dari kain bekas spanduk, yang atasnya di ikat dengan menggunakan tali rafia. Cukup di singkap saja untuk masuk. Di ruangan dalam hanya ada dapur dan satu kamar tidur. Dinding kamar tidur di buat dari bekas karung beras yang di sambung-sambung juga dengan tali rafia. Satu meja makan dan tiga buah kursi. Di sudut ruang ada tungku untuk memasak sehari hari.

Orang tua si anak perempuan ini ternyata sudah mengenal saya dan dengan ramah menyambut saya dan mempersilahkan duduk di kursi meja makan dekat dapur. Segelas teh tubruk segera tersaji di depanku "Mohon maaf, wedang kendel". Wedang kendel secara harfiah artinya air berani. Maksudnya menyuguhkan air minum tanpa ada cemilan atau nyamikan (Snack).

Melihat kondisi rumah yang tidak layak di tinggali dan kehidupan keseharian yang memprihatinkan, saya jadi mafhum kalau anaknya tidak sekolah. Saya tidak bertanya mengapa anaknya tidak sekolah.

"Bapak, Ibu.... Mohon maaf, jika berkenan saya dan teman-teman ingin membantu agar anak Bapak/Ibu bisa sekolah lagi. Insya Allah untuk kebutuhan seragam sekolah, buku tulis, pensil dan biaya-biaya lain yang berhubungan dengan sekolah, Bapak/Ibu tidak usah bingung" dengan hati-hati saya menyampaikan permohonan kepada orang tua si anak perempuan.

 "Pak, meskipun kami miskin. Serba kekurangan. Bodoh. Tidak pernah sekolahh. Sebagai orang tua, kami ingin anak kami sekolah. Agar masa depannya tidak seperti kami. Susah terus" Kata Ibu si Anak Perempuan itu dengan suara lirih sambil menahan kesedihan.

"Masalahnya apa,Bu ? Mengapa Anak Ibu tidak Sekolah ?" Tak sabar pertanyaan itu langsung keluar dari mulut saya.

"Masalahnya, anak saya dikeluarkan dari sekolah sekitar empat bulan yang lalu...." sambil menangis, Ibu anak perempuan itu kemudian menceritakan kejadian empat bulan yang lalau. Kejadian yang menurut saya tidak hanya menyentuh rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tetapi juga soal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ceritanya.... (Saya ceritakan dengan singkat dan saya perhalus kalimat kalimat yang apabila saya tulis apa adanya, bisa membuat bumi bergetar).

Anak perempuan itu masih sekolah kelas 3 di sekolah kampung sebelah. Jaraknya sekitar 3 km. Pergi pulang sekolah melewati jalan setapak di rerimbunan hutan pinus. Waktu itu pada jam pulang sekolah, ada warga yang melihat anak perempuan itu sedang "bersetubuh" dengan seorang lelaki tua. Berumur lebih dari 60 tahun, di semak-semak hutan pinus. 

Kejadian yang sangat tidak pantas itu, oleh masyarakat di anggap sebagai aib dan bisa menjadi pembawa sial bagi kampung. Warga marah kepada orang tua si anak perempuan itu. Bapaknya si anak perempuan pun menjadi marah dan melampiaskan marahnya dengan menampar, memukul, menendang, menjambak rambut, menginjak injak hingga memasukkan anaknya ke kolam. Beruntung Ibu nya si anak perempuan bisa mencegah dan meredam kemarahan si Bapak, sehingga tidak terjadi penganiayaan yang bisa berakibat fatal.

Karena kejadian itu, lalu si anak perempuan di keluarkan dari sekolah. Orang tua si anak perempuan oleh "orang pintar" di haruskan membayar sejumlah uang, agar masalahnya tidak sampai ke ranah hukum. Dan dengan taat, Bapaknya si anak perempuan "kelimpungan" mencari pinjaman agar terwujud "perdamaian".

Ya Allah... Apa yang harus saya lakukan..?

Sore hingga malam hari itu, saya merenung. Memikirkan cara bagaimana masalah ini terselesaikan tanpa keramaian. Tak terbayangkan jika masalah seperti ini tercium wartawan. Geger.... dan itu tidak baik.

Pagi harinya, saya menemui kepala sekolah dan memohon agar anak perempuan itu bisa kembali ke Sekolah. Alhamdulillah, Kepala Sekolah berkenan bahkan beliau langsung datang ke rumah si anak perempuan dan berbicara langsung kepada si anak dan orang tuanya agar si anak perempuan itu kembali sekolah.

Siang hari, saya menemui Pejabat Pemerintahan di desa dan memperoleh jawaban bahwa masalah itu sudah di selesaikan secara kekeluargaan. Musyawarah mufakat. Dan saya di minta untuk tidak membuka kembali masalah yang sudah di tutup dan di selesaikan dengan sangat baik.

Keperihatinan dan keinginan  untuk bisa ikut membantu membayar hutang orang tua si anak perempuan itu syukur-syukur bisa membantu memperbaiki rumahnya agar menjadi layak huni, memerintahkan jari jemari saya menulis dan berkabar lewat SMS kepada beberapa orang sahabat.

Tidak pakai lama, HP saya bergetar. Seorang sahabat yang belum lama saya kenal (Sepertinya sekarang beliau sudah tidak kenal saya lagi), saat itu anggota DPR RI inisialnya Sadar Subagyo. Beliau bertanya tentang si anak perempuan itu dan kondisi keluarganya. Selain, memberikan saran, beliau membantu orang tua si anak perempuan uang tunai sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Saya menerima uangnya di Kota dari sahabat pak Sadar S yang juga anggota DPRD Kabupaten dengan inisial Budiono.

Bergegas saya langsung tancap gas motor menemui Bapak si anak perempuan itu dan menyerahkan langsung yang di terima dengan tangisan bahagia. Tak lupa saya memberikan saran agar uang itu di prioritaskan untuk melunasi pinjaman "uang perdamaian"

Baru saja keluar dari rumah si anak perempuan itu, HP saya kembali bergetar. Yang telpon ternyata pucuk pimpinan kepolisin tertinggi di Kabupaten. Kapolres telpon saya menanyakan masalahnya dan berjanji akan menyelesaikan dengan baik-baik. Kapolres juga meminta agar masalah ini tidak terekspose di media massa. Satu jam kemudian utusan Kapolres datang menemui saya. Kita sepakat untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menimbulkan masalah baru.

Pertolongan Tuhan, ternyata datang begitu cepat. Seminggu kemudian perempuan-perempuan baik dari Kantor Pusat BRI (Bunda Lisco dan Mbakyu Nunung) berkenan datang ke rumah Bapak si anak perempuan itu dan membantu "Bedah Rumah" hingga menjadi rumah layak huni....

Tujuh tahun sudah berlalu dan saya belum sempat bertemu lagi dengan si anak perempuan itu. Juga bapak ibunya. Jika si anak perempuan itu melanjutkan sekolahnya, seharusnya sudah kelas satu SMA. Sayangnya, yang saya tahu pasti, si anak perempuan itu sekarang tidak sekolah.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun