Almadhina. Sampah, merupakan salah satu masalah yang terjadi hamper di semua wilayah di negeri ini. Umumnya  di daerah perkotaan. Terutama di kota-kota besar di Indonesia.Â
Dari seluruh jenis sampah, sampah orgnik menempati urutan tertinggi jenis sampah yang ada. Lebih dari 60 % sampah yang ada adalah sampah organik. dan sampah organik ketika tidak tertangani (terkelola) dengan baik dipastikan akan menimbulkan masalah-masalah baru seperti lingkungan yang kotor, menjadi sarang nyamuk dan lalat, juga menimbulkan bau yang sangat tidak sedap.Â
Contoh nyata di pasar-pasar tradisional. Kita akan sering menemukan sisa-sisa sayuran dan buah-buahan yang busuk dengan ribuan lalat yang riang beterbangan di sekitarnya. Bahkan tak jarang sampai di warung-warung makan yang letaknya tak begitu jauh dari pasar tradisional, banyak orang yang makan sambil bertepuk tangan (Menepuk lalat). Berbagai alasan pembenaran selalu dengan gamblang dikemukakan ketika sampah organik tidak terkelola dengan baik.Â
Pemerintah, biasanya akan mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat yang  tidak disiplin dan suka membuang sampah sembarangan adalah salah satu faktor penyebab utama masalah sampah. Masyarakat akan mengatakan bahwa mereka sebenarnya sudah sadar dan tidak akan membuang sampah sembarangan.Â
Tetapi masalahnya adalah di sekitar tempat tinggal mereka pemerintah tidak menyediakan infrastruktur pelayanan sampah seperti tong sampah, tempat pengumpulan sampah atau TPA. Lalu Pemerintah akan menyampaikan bahwa sebenarnya rencana pembuatan tong sampah dan tempat pengumpulan sampah itu sudah di rencanakan bahkan setiap tahun selalu di rencanakan.Â
Masalahnya adalah, anggaran Pemerintah untuk membangun infrastruktur sampah sangat terbatas. Dan seringkali anggaran itu di coret karena tidak termasuk rencana dan program prioritas. Masih banyak program-program lain yang harus diprioritaskan. Lalu dengan sangat bijak Pemerintah berkata bahwa tanggungjawab pengelolaan lingkungan bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja. Harus ada partisipasi dan dukungan masyarakat untuk bersama-sama menangani masalah sampah.
Sejak bulan Maret 2019, warga di kampung ini memproklamasikan kampungnya dengan nama kampung laler (Lalat). Mereka secara bergotong royong membuat rumah (kandang) lalat tentara hitam atau yang biasa di sebut Black Soldier Fly (BSF) dan bersama-sama memelihara lalat dengan berkelompok.
Menurut Nasihin (ketua kampong Laler) saat ini setiap hari kampong laler membutuhkan sampah organik sebanyak 500 kg atau setengah ton. Atau sama dengan 15 ton setiap bulan. Padahal dari 232 kepala keluarga, baru 23 keluarga yang secara intensif beternak lalat tentara hitam. Sebenarnya seluruh warga sudah kepengin beternak lalat tentara hitam. Karena maggotnya mengandung protein yang sangat tinggi dan baik sekali di jadikan pakan segala jenis ikan dan unggas.
Apa yang di lakukan oleh warga kampong laler sudah terdengar oleh Bupati Banyumas. Bapak Bupati Banyumas secara khusus sudah mengundang pengurus kampong laler ke Rumah Dinas Bupati untuk berdiskusi tentang budidaya ternak lalat tentara hitam sebagai solusi untuk mengatasi masalah sampah di Banyumas. Bupati juga langsung memesan kandang lalat dan bibit lalat untuk di ternak di belakang rumah dinas Bupati. Tak cukup sampai di situ, Bupati Banyumas bersama Ibu Bupati beberapa waktu yang lalu datang berkunjung ke kampong laler untuk melihat dan belajar bersama warga.
Dalam kesempatan pertemuan dengan warga, Bupati Banyumas menyampaikan gagasan untuk membangun sinergi kota dengan desa dalam pengelolaan sampah. Ke depan, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu yang ada di kota akan dihimbau untuk mengolah sampah organik menjadi bubur sampah, lalu bubur sampahnya akan dikirim ke kampong laler sebagai pakan maggot bsf.
Semoga kerjasama pengelolaan sampah antara kota dengan desa bisa segera terlaksana...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H