Cerpen Yudha Adi Putra
 Setelah mengusap alis, dadaku terasa sesak. Berkali-kali mendengar ungkapan menyakitkan. Mulut lelaki yang begitu manis itu, ternyata bisa berubah jadi tajam. Tak pernah dia selingkuh atau menjadikanku samsak tinju. Itu yang aku syukuri.Â
Ketika mendengar cerita dari teman yang menjadi kekesalan pendamping hidupnya. Aku selalu berhasil menemukan hal baik darinya, entah puisi atau bunga yang ada di meja. Dia nakal. Dia kadang tak mau makan masakanku, padahal aku sudah menyediakan waktu untuk memasak.
 Hampir satu dekade aku bersamanya, Tuhan memberi kami gadis kecil. Gadis yang selalu dipuji olehnya. Kesukaan gadis itu sama persis dengannya. Menulis dan merangkai bunga. Hanya satu hal yang sama denganku, tidak suka dengan alis.Â
Kutinggalkan dia begitu saja ketika pagi, sarapan sudah tersedia, kini aku bisa bekerja. Aku tak mau luluh oleh puisinya di pagi hari. Sudah cukup besar untuk lepas dari ibu, dari diriku. Belum lagi, kebiasaannya tidur larut malam, mirip dengan bapaknya. Kekesalanku setiap pagi, membangunkan suami dan anak perempuanku.
 Tak sampai dua hari, aku mendapatkan telpon dari sekolah, seorang guru.
 "Ibu, ini Dara mau ikut lomba membaca puisi!" Sementara terdengar kegaduhan kelas di siang hari. Aku tak pernah mempermasalahkan hal itu. Telpon aku matikan, bahkan sebelum memberikan jawaban. Puisi ? Kenapa gadis kecilku juga suka puisi. Aku terbawa pada beberapa tahun silam, kala aku membaca dan mendapat puisi pertama darinya. Anak nakal yang kini menjadi suamiku.Â
Dulu, pernah suatu malam aku isi dengan tangisan dan dada sesak. Mungkin juga beberapa hari terakhir. Tak ada darah, tak ada luka. Hanya perasaan lemas dan sesak. Aku sendiri sulit menjelaskan.
 Terdiam di meja kerjaku, memperhatikan beberapa teman. Tak yakin dengan keadaan, aku mengambil minum.Â
 "Rasain sekarang ! Itu akibatnya mau-maunya sama penulis. Mau banget dibikinin puisi sama dikasih bunga. Nyesel sekarang ? Belum penampilannya yang tidak tahu malu itu," umpat beberapa kawan ketika aku bercerita. Tak ada tempat untuk bercerita tanpa dihakimi. Aku seperti meraba pondasi sendiri.