Charger yang Tertinggal
Catatan Yudha Adi Putra
Setelah turun dari pesawat, HP boleh dinyalakan. Beberapa pesan masuk mulai tampak. Satu pesan dari nomor yang sudah lama aku kenal. Sore itu, pesan yang dikirimkan begitu mengejutkan. Aku harus bersiap besok di kegiatan pramuka. Bukan tidak ingin, hanya saja sudah lama tidak berkegiatan di pramuka. Waktu berjalan dengan cepat. Mencari koper adalah tujuan selanjutnya. Pesan yang lain juga aku baca. Pesan juga aku kirimkan. Bukankah begitu hidup, selalu berkirim pesan dan harapan. Bisa juga, setiap pesan yang dibacakan membawa dampak perubahan. Sebagai informasi, pesan memberi banyak arti. Tidak dapat dipungkiri, ada kerinduan untuk menerima pesan.
Lorong perjalanan setelah keluar dari pesawat cukup panjang. Jalan kaki terasa melelahkan. Belum lagi, setiap perjalanan diperhadapkan dengan tanda arah. Tanda itu tidak selamanya jelas. Aku sering kebingungan dan salah mengartikan. Perjalanan akan terasa amat panjang. Untuk beberapa orang yang tidak terbiasa, tentu akan melelahkan. Perjalanan menjadi panjang karena belokan. Bentuk bandara memang tampak indah. Tapi, keindahan itu tidak baik kalau dinikmati dengan jalan kaki. Kaki terasa pegal berhari-hari. Aku membayangkan, mereka yang bekerja di sini setiap hari pasti terlatih.
"Kopernya kok belum muncul ya, Pak. Aku sudah harus segera ke kereta. Kereta berangkat tiga puluh menit lagi," sapaku pada petugas yang membawa troli. Tampak ramah, petugas itu memberi tahu kalau bisa saja molor lama.
"Itu sangat mepet. Kalau masih awal, pasti bisa segera menemukan koper. Tapi, bisa juga menjadi lama karena kopernya tidak kunjung muncul. Melempar koper juga memerlukan waktu. Tidak bisa sembarangan, sebab setiap apa yang disusun membutuhkan kerapian," ujar petugas tadi dengan kaki yang tampak pegal.
Aku bisa mengetahui kakinya yang pegal dari caranya duduk. Beberapa keluhan diungkapkan, mulai dari kantuk dan kaki yang pegal. Bagaimana tidak, dia harus berjalan paling tidak lima kilometer setiap harinya. Menjumpai berbagai macam orang yang bisa saja berbeda. Perbedaan itu kadang membuat lelah.
"Itu sudah mulai. Silakan dicek kembali, siapa tahu kopermu menjadi yang awal. Itu bisa menjadi kesempatan untuk berlari. Mendapati beberapa tikungan hingga bisa sampai ke stasiun," saran pendorong troli tadi.
Aku hanya terdiam. Mengamati troli yang berdatangan. Mereka membawa koper masing-masing. Tidak jarang, ada sorot mata yang sayu. Lelah dengan keadaan. Bandara memang menghadirkan banyak cerita. Jumpa dengan berbagai macam tipe orang. Boleh dikatakan, setiap perjumpaan akan membawa perubahan. Rasanya memang melelahkan, bertemu dengan hal baru. Hanya perlu waktu untuk semua itu bisa disebutkan sebagai pembelajaran.
Aku berlari menuju stasiun. Membawa koper dengan penuh semangat. Beberapa orang memperhatikan, aku membiasakan diri untuk tidak peduli. Mereka tidak memberiku uang, pasti memerlukan uang yang aku miliki.
Penyesalan terbesar yang dilakukan di bandara adalah membungkus koper. Itu menjadi kesenangan tersendiri, awalnya memang aku kira gratis. Tapi ternyata membayar dan tidak sedikit. Maksudku, dari pada untuk membayar bungkusan koper dari plastik, bisa saja untuk makan selama satu hari. Kalau sedang hemat, bisa juga menjadi tiga hari.