Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Panjang Sunaryo

2 Agustus 2023   09:30 Diperbarui: 2 Agustus 2023   09:30 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam Panjang Sunaryo

Cerpen Yudha Adi Putra

Pertigaan jalan mulai ramai penuh dengan kendaraan. Lampu jalan otomatis menyala. Menandakan malam segera tiba. Suara klakson semacam bersahutan. Pengendara tidak mau melewatkan waktu sebentar untuk membiarkan pengendara lain. Jalanan macet. Nampak langit mulai menjadi gelap. Tak ada lagi senja jingga yang menemani kemacetan jalanan. Sesekali, jalanan itu menjadi sepi karena ada orang menghentikan dengan paksa. Deru peluit dan beberapa orang berseragam yang mengatur jalan. Meski tidak muda lagi, seorang lelaki tua tetap bersemangat mengatur jalanan. Menarik napas lebih panjang supaya peluit bisa tertiup dengan keras. Tak ada ketergesaan baginya, meski jalanan macet. Tetap saja, sorot matanya teduh.

"Jalanan kali ini macet sekali ya, Kang!" ujar Kang Haryo pada Kang Sunaryo. Mereka berdua lalu saling menatap.

"Sudah mudah punya motor sekarang. Tidak seperti dulu," sahut Kang Sunaryo.

"Berarti itu tandanya kita semakin kaya dan berkembang ya, Kang? Buktinya sekarang sudah mudah membeli motor. Bahkan, dengan modal foto KTP saja bisa mendapatkan motor sesuai yang kita impikan,"

"Mimpimu saja itu yang mudah. Lha nanti ngangsurnya bagaimana? Kalau tidak ada uang yang digunakan," sahut Kang Hartanto.

"Tapi, benar lho. Lihat saja jalanan sore menjelang malam ini. Ramai sekali, seperti ada perpindahan daerah. Mereka itu semua butuh makan dan tempat tinggal semua," sahut Kang Haryo.

"Memang. Mereka bisa saja lapar semua. Di jalan saja terburu-buru. Waktunya istirahat mungkin. Wajar saja, semua mau cepat dan ingin pulang. Tidak mau melewatkan waktu banyak di jalanan seperti kita ini," lanjut Kang Sunaryo.

Percakapan mereka itu menambah indahnya sore menjelang malan. Saat banyak orang menuju rumah masing-masing. Menikmati teh hangat dan senyuman keluarga. Justru mereka mulai bekerja. Menata jalanan dengan kemacetannya. Menikmati debu-debu jalanan yang berdampingan dengan malam. Tidak ada kesempatan untuk bertemu keluarga di malam hari.

"Tidak apa tidak di rumah dulu. Ini lebih baik dibandingkan hanya bertemu tapi terus saja berkelahi. Malam itu penuh dengan keinginan yang kadang tidak tercapai ketika masa kecil," ujar Kang Sunaryo.

"Sebenarnya setiap tindakan yang dilakukan saat ini itu sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat atau hanya pelarian dari persoalan malam yang tidak bisa habis ya? Bukankah ini jadi aneh kelihatannya," ujar Kang Satmiko.

Tidak ada malam yang berlalu tanpa senyuman. Setiap malam mereka tertawa. Malam Senin apalagi, ketika banyak orang minta diseberangkan karena hendak menuju ke gereja. Membawa doa dan harapan sebelum akhirnya malam tiba.

Gereja menjadi impian beberapa orang, termasuk Kang Sunaryo untuk mengisi hari tuanya. Mendapati setiap kesempatan untukt tetap hidup. Memberikan warna pada beberapa harapan.

"Tidak sempat ke gereja tapi kita bisa memberikan pelayanan bagi mereka yang mau ke gereja. Semoga itu menjadi bentuk sapaan yang menyenangkan. Tidak hanya itu, kita bisa berdampak baik bagi orang yang mau menyapa kita. Kalau bisa, bagi orang yang akan kita temui setiap hari," lanjut Kang Satmiko.

Bukan hanya malam itu. Kegelisahan mereka tentang gereja terus bermunculan. Tiap malam. Entah dalam tatapan. Bisa juga dalam laku dan tindakan. Malam menjadi pertanyaan akan hari esok yang tidak bisa dimengerti. Mungkin saja, setiap pilihan dari apa yang dilakukan mengundang kesepian untuk hari.

"Kesepian bisa menjelma apa saja, setelah kebebasan digunakan. Ia bisa menjadi sepi dalam tindakan yang membosankan. Mengulang malam demi malam dalam hal yang sama. Meniup peluit dan melihat kemacetan," ujar Kang Sunaryo.

Tidak ada yang salah dengan perpisahan. Hanya pertemuan yang berlebihan dengan dampak membosankan. Bisa jadi, setiap keinginan itu merupakan akumulasi dari penyesalan. Tidak bisa melangkah lebih lanjut lagi dengan berbagai perjumpaan.

"Kita akan melewatkan banyak malam hanya dengan bersama mengatur jalan. Tapi, bagaimana kalau kita membiarkan setiap jalanan yang ramai itu menjadi sarana berdoa. Meminta apa saja yang kita mau untuk terjadi dalam hidup. Membiarkan setiap tindakan menjadi pembawa perubahan. Tidak masalah, setiap langkah akan tetap membawa hikmah!" ujar Kang Sunaryo.

Godean, 02 Agustus 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun