Tatapan Pematang Sawah
Cerpen Yudha Adi Putra
Dua orang pemuda berjalan beriringan. Mereka menuju ke arah sawah. Membawa alat untuk bertani dan minuman dalam bumbung bambu. Tak terlupa, ada kerbau mengikuti mereka. Kerbau jinak bernama Hura. Hura sudah cukup dewasa untuk membajak sawah. Ini adalah kali pertama Hura diajak oleh pemiliknya untuk membajak.
"Nanti kita akan membajak sampai mana saja?" tanya Setyo. Salah seorang pemuda yang membawa pacul. Tubuhnya gempal. Tapi, kalau memacul bisa kuat seharian.
"Sawah Lik Karyo dan Pakde Waluyo saja. Itu pesan dari Bapak tadi malam," sahut Haryo sambil menarik tali pengikat kerbau.
Perjalanan menuju sawah disambut kicauan burung. Kedua pemuda itu, dengan hati-hati memeriksa sawah yang akan dibajak. Memperhatikan tanah, setelah mendengar cerita tentang ular di sawah. Mereka berhati-hati.
"Memang ya, sawah itu tempat tinggal bermacam-macam. Kita berbagi tempat!" seru Haryo sambil membuka tikar lusuh yang terbuat dari daun pandan.
"Sini dulu, Lik. Kita merokok dulu sambil menunggu air memenuhi sawah. Kalau dibajak dalam keadaan keras, kasihan kerbaunya," ujar Setyo.
Ada beberapa petani lain mulai berangkat ke sawah. Mereka saling bertegur sapa. Menanyakan kabar sawah masing-masing. Tidak lupa, peristiwa kegagalan panen yang masih terkenang.
"Kalau kita tidak memakai pupuk sembarangan, pasti bisa panen!" ujar Lik Karmanto.
"Sepertinya bukan karena pupuk saja. Alat bajak yang tidak ramah lingkungan bisa membuat rusak. Belum lagi, kita mulai jarang datang ke sawah di waktu malam!" sahut Setyo.