Cinderella Kompleks dan Burung Pleci
Tulisan Yudha Adi Putra
Semacam mencatat apa yang berlalu hari ini. Mulai dengan bangun kesiangan. Memberi makan burung dengan pisang. Kalau sempat, tanaman diberi air. Pagi memang menyenangkan untuk melakukan hobi. Bisa apa saja, mulai dari berkebun sampai memelihara hewan. Tapi, ada kisah baru tentang Kimy. Ia merasa kesepian dengan pagi. Pagi tak lebih menyenangkan dari malam. Ada kemacetan jalanan yang harus dilalui. Bisa juga, setiap tikungan jalan memberikan sapaan. Itu berulang. Banyak menyebutkan sebagai tanda-tana perempuan yang tidak dewasa. Meski baru berusia dua puluh lima tahun, Kimy merasa disindir setiap kali membaca tiap tikungan. Tapi, siapa sangka. Kebenarannya tidak bisa disalahkan.
Kimy mencoba menerima setiap sapaan. Mulai dari tukang sayur, ojek pangkalan, bahkan sampai pengemis. Memang, tidak banyak pengemis yang bisa dipercaya. Belum lama, Kimy mendengar ada video beredar tentang pengemis.
"Ia biasa duduk di dekat stasiun. Membuat kakinya sendiri tidak bergerak. Lalu, melukiskan tangis di wajahnya. Kasihan dijualnya secara perlahan. Kalau bisa, ditukar dengan rupiah setiap lelah. Tapi, itu bukan tujuan utama. Langkah selanjutnya memberikan jawaban atas apa yang dilakukan," ujar Kimy.
Membaca tentang pengemis itu, Kimy ingat sesuatu. Tentang tanda perempuan yang enggak dewasa. Kisahnya sama seperti Cinderella. Umur terus bertambah menjadi angka. Langkah sudah pergi ke tiap sudut harapan. Tetap saja, ada keinginan yang terwujud. Keinginan bernama pangeran. Ada yang menyelamatkan pengemis. Itu dianggap Kimy menjadi kewajaran. Tidak selamanya bisa berjalan sesuai dengan rencana.
"Kalau tidak ada yang membantu. Itu bermasalah. Nanti, aku harus melakukannya sendiri. Rasa sepi berjuang dengan langkah yang berulang. Keinginan memang mencari alasan untuk terus berjuang. Bisa dengan bantuan, bisa juga dengan tangisan. Tidak ada yang mengenal langkah selanjutnya," kata Kimy sebelum akhirnya memulai hari.
Semua tanaman sudah dipersiapan. Bukan hanya disiram. Tapi, tanaman diberi pupuk supaya teduh. Bukan pada rasa kasihan saja. Ada pemeliharaan untuk hari esok. Pilihan demi pilihan dikatakan. Kalau tidak menjadi kenyataan, Kimy bisa marah dan menyesal. Tidak perlu diberi kesempatan. Dukungan bisa datang dari mana saja. Hanya dalam kesunyian. Semua menjadi kemenangan.
"Burung memang saling membutuhkan. Untuk membuat sarang mereka bekerja sama. Bisa juga saling memberikan informasi tentang letak makanan. Itu tidak bisa dihindari. Tapi, setiap burung tidak bisa mengandalkan burung lain. Burung lain memiliki sayap untuk terbang. Menukar setiap kepentingan demi kemandirian. Ini yang perlu dipelajari. Tidak mau mandiri dan selalu bergantung pada sayap burung lain. Bukan tidak mungkin. Ini sebuah ketidakmengertian akan langkah hidup."
Tulisan itu terpampang tepat di depan Kimy. Kala itu, banyak burung berterbangan. Mereka hendak membuat sayap masing-masing. Kimy menatap seekor burung kecil yang ada di pojok pohon. Tanpa rasa bersalah. Burung itu meminta banyak bahan sayap pada burung lain. Hanya karena burung itu kecil. Ia berbuat seenak dirinya, tentu dalam pandangan Kimy.
Kimy melanjutkan hari. Ada pilihan untuk kembali ke rumah. Bisa saja pulang membawa banyak kabar sukacita. Tapi, Kimy tetap meneruskan langkah. Sebagai gadis muda, ia ingin punya banyak pengalaman akan hidup. Rasa sepi dibunuhnya perlahan menjelang siang.
"Kesempatan perlu diberikan pada setiap langkah selanjutnya. Tidak perlu merasakan kehilangan. Kemampuan untuk menentukan pilihan itu bisa dilatih. Burung pleci bermain dengan pisang. Mencoba mematuk perlahan. Tapi, pisang itu tidak kunjung bisa dimakan. Burung pleci tidak menyerah. Ini soal kesempatan dan kemampuan. Aku tidak bisa mengulangnya dua kali. Jadi, setiap patukan harus memberikan semangat."
Tulisan itu dilihat Kimy. Ada pemuda membawa burung pleci. Mendekatinya dan meminta keputusan tentang warna. Hanya ada senyuman yang diberikan oleh Kimy. Pemuda tadi pergi. Menyadari hadirnya memang tidak berarti.
Kimy merasakan cemas hidup sendiri. Kalau bergantung pada orang lain. Ia teringat kembali tentang burung yang merajut sayapnya sendiri.
Penampilan menjadi penting bagi Kimy. Setelah melihat banyak hal tentang pakaian. Kimy berani melanjutkan hari. Perasaannya membaik. Nantikan banyak impian lagi dilanjutkan oleh Kimy.
"Bukan seperti Cinderela. Itu berlebihan, kalau saja bisa dibantu dengan kepedulian. Tentu setiap rasa sepi menjadi tidak berarti," ujar Kimy sambil menatap burung pleci.
Berawal dari burung pleci itu, Kimy merasa yakin tentang langkah selanjutnya. Tidak hanya bantuan orang lain. Ia butuh kaki sendiri. Burung pleci saja berusaha merangkai sayap sendiri. Bisa berdampak dengan terbang dan berkicau. Tapi, ada hal penting yang perlu diperjuangkan. Bukan tentang sayap saja. Tapi, apa yang dilakukan menjadi keberuntungan.
"Ini akan menjadi perjalanan panjang tentang kenangan. Kimy akan menulis setiap penerimaan dalam hidup. Bisa saja, setiap hal menjadi menyakitkan. Tapi, itu akan menjadi proses yang membentuk dengan indah," ujar kawan Kimy. Tak mau nasihat itu berlalu begitu saja. Kimy mencatatnya. Mencoba menukar setiap rasa penasaran dengan doa. Entah, doa itu menjadi kebiasaan baik atau hanya menjadi rutinitas karena kering.
"Cinderela memang kompleks. Dia selalu menanti datangnya pangeran penolong. Tapi, kicau burung pleci lebih membebaskan. Bisa membawa daya ubah," ujar Kimy. Itu terjadi setelah ia melewati hari. Memang, refleksi bisa berganti seiring waktu mengalami.
Godean, 11 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H