"Pasir, Pak. Ini pasir pilihan. Untuk kami makan, sudah lama kami tak merasakan enaknya nasi. Hanya debu jalanan yang menghampiri kala pagi," ujar anak kecil itu. Seolah sudah fasih merangkai kata. Berkata, kalau dirinya juga berusaha bekerja di pertambangan. Tapi, gagal jadi masih belajar di dekatnya dulu.
 Jarwo di seberang jalan hanya tersenyum. Sudah banyak orang membuat penderitaan. Menjualnya secara perlahan untuk terus berjalan melanjutkan hidup. Bisa saja itu menjadi merugikan. Tapi, tetap saja mereka menjadi lebih kaya dari biasanya.
"Untuk beberapa sapaan yang menjadi menyakitkan mungkin bisa menjadi kicau burung saja. Itu lebih menentramkan dari pada berbicara tentang capaian," ujar Jarwo menatap burung pleci berkicau merdu.
Bantuan demi bantuan tak kunjung datang. Itu membuat Jarwo kian menikmati setiap sapaan dan senyuman. Tidak hanya pada waktu istirahat saja. Ada kesibukkan lain dengan kepentingan beragam.
"Perlahan, setiap doa akan menjadi kenyataan. Bersama harapan dan senyuman bermunculan. Pada saat tertentu, itu perlu dinyatakan dalam tindakan," ujar Jarwo.
Kelulusan kuliah menjadi dambaannya, bukan tentang kemenangan saja. Penjual pasir yang merupakan anak kecil bisa melanjutkan kehidupan. Itu menjadi pemberitan semangat bagi Jarwo. Tapi, berujung pada setiap kehidupan nantinya akan seperti apa. Ada doa baik bagi harapan yang tertunda. Untuk beberapa catatan. Kini, tempat ini akan didatangi orang dengan menyebutkan "Brown Canyon".
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Pesona Wisata Kabupaten Semarang
#pesonakabupatensem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H