Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan Sakit

1 Juli 2023   09:12 Diperbarui: 1 Juli 2023   10:47 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pesan Sakit

Tulisan Yudha Adi Putra

Semenjak pesan tentang tetangga dikirimkan, Jarwo enggan membalas pesan Handoko. Sakit hati disimpannya sendirian. Bagaimana tidak, tetangga yang begitu dibencinya tampak bahagia. Kebahagiaan itu menjadi ancaman bagi Jarwo. Karena enggan menerima informasi kebahagiaan lagi, Jarwo memilih untuk undur diri. Menghentikan langkah sejenak sembari menuliskan kisah.

"Malam akan tetap menjadi malam. Tanpa bintang dan hewan malam. Semua akan baik-baik saja. Terus dilanjutkan bersama banyak kenangan," ujar Jarwo.

Dendam pertama yang harus dituntaskan adalah tentang tenang. Berisik menjadi ancaman serius. Malam tidak bisa belajar. Kicauan burung menemani pagi saja. Kala malam tiba, ada suara berisik tetangga. Itu menyiksa, belum lagi kebahagiaan yang sebatas selangkangan itu dipuja. Tanpa mengerti penderitaan di sekitarnya.

"Impianku terlalu tinggi untuk hanya sedekar memiliki tetangga menyebalkan. Penyesalan demi penyesalan bisa saja bergantian datang. Mereka menjadi tulisan dan doa. Tidak semua bisa terwujud, tapi menjadi harapan untuk tetap terlaksana," ujar Handoko.

Segala perjalanan dilalui. Bukan karena ingin, tapi menghindar dari pembicaraan orang desa. Semua seolah ingin tahun tentang capaian. Tidak ada yang pernah menduga. Kegagalan menjadi nama tengah. Selalu saja muncul, bahkan pada saat terasa gawat.

"Kelak, setiap tulisan akan menjadi permohonan. Kemudian, tidak ada darah berjatuhan. Hanya semacam puisi untuk meneduhkan hati. Menepi, menikmati setiap perjuangan tanpa mempedulikan keberhasilan orang lain," ujar Jarwo.

Hari-hari berlalu tanpa informasi. Komunikasi hanya terjadi sementara saja. Mungkin, itu karena liburan. Ada harapan untuk mendekati. Mencoba untuk peduli. Tapi, setiap langkah yang bermunculan itu akan memberikan pertanyaan hidup.

"Tidak semua terjadi seperti apa yang diinginkan. Bisa saja terus berjalan dengan tanpa kendali. Tidak bisa dipungkiri, perasaan sepi bisa datang kapan saja. Mungkin aku akan melalui jalan itu, mengambil gambar dan menceritakan kabar sukacita sementara," ujar Handoko.

Rencana untuk mengecek kediaman Jarwo dilakukan. Tanpa sepengetahuan Jarwo, semua berjalan dalam keheningan. Tidak banyak perubahan, hanya gejolak sementara waktu terus berjalan.

"Mungkin, ada banyak kesibukan. Rasa sakit terhadap tetangganya sudah menjadikan dia melupakan banyak hal. Tabungan demi tabungan dihabiskan untuk menutupi kegagalan," ujar Handoko.

Belum sempat menyelesaikan perjalanan menuju tempat Jarwo. Handoko merasakan sekujur tubuhnya sakit. Penderitaan menjadi nama tengahnya. Sesak napas dan kesulitan untuk berjalan. Melangkah menjadi bentuk umpatan akan keadaan.

Namun, di sisi lain, Jarwo terus saja menulis. Membagikan kisah dengan senang hati. Menikmati setiap momen untuk terus membawa kabar sukacita. Nanti, Jarwo berencana untuk datang pada sebuah perkumpulan doa.

Ada kenangan akan malam. Datang di tempat ini, duduk seperti biasa di dekat sumur. Lalu, mendengarkan orang bercerita. Entah, ceritanya lucu atau tidak. Itu menjadi perjuangan bagi Jarwo. Tak terasa, setiap salam menjadi pedang bermata dua. Menuntut bantuan di kemudian hari.

"Aku sakit. Lalu, apa yang bisa menolongku sekarang," ucap Handoko di kamarnya sendirian. Dalam perasaan sunyi. Handoko mencoba mengingat kembali langkah hidupnya.

"Bersama tetangga yang menyebalkan seumur hidup bisa saja membuat orang depresi. Kemungkinan demi kemungkinan seolah hilang berganti dengan penyesalan. Bisa jadi, bentuknya berupa tangisan akan keadaan," ujar Jarwo.

Langkah disusulkan, Jarwo mengantarkan Handoko ke rumah sakit. Itu menjadi antisipasi, sebelum terlambat dan memerlukan bantuan lebih lanjut. Unit demi unit mencatat percakapan.

"Ada gempa. Perasaan menjadi bergetar. Semua informasi tersebar tentang gempa. Bermunculan harapan untuk terus hidup dengan getaran akan kepentingan," ujar Handoko.

"Ini gempa. Makanya, semua orang berlarian menuju ke luar. Mereka tidak ingin tertimpa bangunan. Melanjutkan hidup menjadi lebih berharga dibandingkan berdiam diri saja. Ada langkah dan tindakan untuk terus berusaha," ujar Jarwo.

Tidak ada yang peduli tentang malam. Perasaan sakit Handoko sudah sampai di seluruh tubuhnya. Ada seperti jarum menusuk kepalanya. Kesakitan demi kesakitan memang menyiksa. Tidak semua bisa berjalan sesuai dengan rencana.

"Makan mie ayam atau nasi goreng sepertinya nikmat ini. Cocok untuk pengantar minum obat. Semoga saja, setelah ini bisa lekas sembuh dan melanjutkan harapan," ujar Jarwo.

Nasi goreng sudah di depan mata, pesan sakit telah tiba.

Godean, 01 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun