Pak Roki ikut bercengkrama. Mereka ramah. Risiko gagal panen tidak terasa berat. Hidup bersama membuat beberapa hal jadi ringan. Pak Roki memutuskan untuk menjual semua pohon jatinya. Membeli cangkul pertama.
"Aku mau menjualnya. Mungkin ada yang bisa membantuku untuk mencari pembeli kayu jati itu?" ujar Pak Roko.
"Ada banyak pencari kayu jati. Mereka semua ingin kayu jati milikmu. Kemarin saja, sudah ada dua orang menanyakannya kepada kami. Tentu, kami jawab tidak mengerti. Memang, sudah lama tidak dilihat kembali oleh pemiliknya,"ujar Pak Tomo.
Hari berganti, Pak Roki sudah mendapatkan modal untuk bertani. Hanya saja, untuk cangkul pertamanya belum diperoleh. Cangkul jadi penting untuk petani.
"Roki, ini ada cangkul peninggalan orangtuamu. Aku dulu diminta menyimpannya. Kalau kamu memerlukannya, ini khusus aku simpan untuk dirimu," ujar Pak Roni, tetangganya sekaligus kawan masa kecil Pak Roki.
Sebuah cangkul sudah di depan mata. Kini, Pak Roki mulai mencari informasi. Belajar untuk bertani padi. Menentukan benih, musim tanam, dan mempersiapkan pembeli padinya.
"Kalau tidak ada yang beli. Padi ini akan aku tanam dan aku makan sendiri. Jadi, aku bisa saja bekerja untuk diriku sendiri," ujar Pak Roki.
"Ayo. Kita ke sawah. Ini hari yang cerah, Pak. Kemarin, aku berhasil menangkap banyak burung. Mereka menganggu tanaman padi," ujar Jarwo, seorang penangkap burung yang baru saja lepas dari penjara.
Tentu dengan kasus yang sama. Berjualan burung yang liar. Burung dilindungi. Pak Roki menatap cangkulnya. Cangkul bekas yang masih layak pakai.
"Cangkul ini akan aku beri nama Handoko," ujar Pak Roki.
"Miri seperti kepala penjara yang memukulimu dulu ya Pak," ujar Jarwo.