Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekalahan Jalan Berlubang

29 Juni 2023   08:46 Diperbarui: 29 Juni 2023   08:52 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup di desa amat menyenangkan bagi yang menikmatinya. Mengisi hari dengan percakapan di pos ronda. Menikmati sore dengan rintik hujan. Kalau beruntung, ada tetangga datang memberi pisang goreng. Tidak lupa, sediakan teh untuk menjadi kawan kala senja. Tidak berlebihan, menatap orang pulang dari sawah dengan rasa lelah. Itu menjadikan bersyukur karena berkah melimpah. Tidak berlebihan, kalau setiap perjumpaan selalu memunculkan sapaan.

"Selamat pagi. Nanti jadwal ronda siapa saja ? Sudah lama tidak dibicarakan. Kemarin, ada keluhan warga tentang kehilangan hewan peliharaan. Menyebalkan sekali, sudah dikasih pagar tetap saja diambil oleh pencuri," ujar Lik Haryanto.

"Memang, sekarang lagi pada butuh uang. Musim semesteran untuk anak-anak. Perasaan kehilangan akan berdampak pada kepentingan juga. Kepentingan yang mana dalam hidup?" ujar Pak Harmin.

Belum sempat melanjutkan percakapan, datang seorang pemuda membawa rokok. Namanya Karyanto. Pemuda yang sudah lama menganggur. Alasannya sama, belum ada pekerjaan yang cocok baginya. Mungkin karena dia sarjana, jadi punya kesempatan memilih. Menganggur atau tidak itu pilihan. Tidak semua bisa dilakukan dengan sembarangan.

"Belum lagi. Orang akan datang ke sini untuk membicarakan tentang maling. Bagaimana dengan jalanan yang berlubang? Masalah ada banyak di sini. Tapi, penyelesaiannya hanya rapat saja. Bahkan, dalam rapat ada kesempatan untuk merapatkan anggaran rapat berikutnya. Intinya ada pada rapat," ujar Karyanto.

"Jangan marah seperti itu, Kar. Memang hidup di desa itu seperti ini. Pelan-pelan. Mereka saja bahagia dengan yang dimiliki. Tidak perlu mencapai ini itu, langkah hidup perlahan menjadi sebuah doa. Kalau menonton sepak bola saja bagaimana?" tawaran Lik Haryanto menentramkan Karyanto yang sedang pusing.

Pusing tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Penat juga menatap ketertinggalan lingkungan sekitarnya. Belum ada kemajuan, dampak terhadap tindakan bernama rapat itu tidak ada. Hanya memunculkan banyak omong kosong. Sementara, kemiskinian menjadi makanan. Penderitaan bisa berwujud apa saja. Tetap pada keinginan untuk merokok dan minum kopi. Padahal, sudah tahu kalau banyak anak kurang gizi. Tidak berlebihan, penderitaan membuat orang lupa diri. Lupa bahwa ada cara hidup lain yang masing bisa diperjuangkan.

"Tapi, itu untuk apa. Hidup seperti ini saja sudah sulit dan ada nikmatnya. Kalau berbeda, nanti malah repot. Kalau kaya semua, nanti mau diutangkan ke siapa ? Orang kaya juga perlu orang miskin untuk mendapatkan uang. Kalau semua bekerja dengan pikiran. Lalu, tindakannya siapa ? Ototnya siapa ? Semua diperlukan. Memang, relasi kuasa itu tetap akan ada. Biarkan saja, itu menjadi pembuktian," ujar Pak Harmin.

Membenarkan ucapan Pak Harmin, Karyanto mulai menyalakan televisi di pos ronda. Memilih siaran tentang pertandingan sepak bola. Kini, setiap orang di pos ronda bisa menonton sepak bola. Tidak meronda sampai malam. Hanya dengan televisi, semua terasa ringan. Mungkin menjadi hiburan.

"Bagaimana tidak menghibur. Kalau di rumah mungkin hanya akan dimarahin istri dan anak-anak meminta banyak hal. Kalau di pos ronda, bisa bertemu teman. Menjalin harapan. Siapa tahu, ada informasi juga yang dikembangkan," ujar Lik Haryanto.

Bukan malam kalau tidak gelap. Tapi, gelap itu tidak berlangsung lama. Ada pagi, di mana semua harus kembali pada realita. Malam menjadi momen untuk istirahat. Memunculkan banyak doa sebagai sarapan. Tetap saja, ada pilihan lain dalam hidup untuk terus berjalan.

"Bisa jadi. Kita miskin itu penuh wacana. Ada mendukung kemiskinan sebagai cara melanggengkan kekuasaan mereka. Bisa juga, korupsi yang memunculkan banyak kesenjangan," ujar Karyanto.

Beberapa hari, ada kasus pencurian. Kalau setingkat pencurian ayam, itu menjadi warna hidup di desa. Lalu, bagaimana dengan mereka yang korupsi dan tidak bisa ketahuan. Karena semua sudah menjadi kebijakan, semacam sistem yang memberdayakan untuk terus korupsi.

"Memang, paling bahaya bukan pencuri atau perampok. Tapi, mereka yang membuat kebijakan. Bukan hanya tidak bisa ketahuan, tapi bisa kebal terhadap hukuman. Hanya dengan menonton sepak bola selama dua malam. Sudah banyak warga kemalingan. Mereka yang ronda menjadi malas," ujar Pak Harmin.

Ada ide di balik membelikan televisi di pos ronda. Bukan supaya semangat ronda, tapi biar tidak fokus dalam menjaga lingkungan. Tiap wacana, pasti membawa kepentingan.

Godean, 29 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun