Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesan Minggu Lempar Panci

4 Juni 2023   20:36 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:05 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesan Minggu Lempar Panci

Cerpen Yudha Adi Putra

Untuk pagi sebelum jam sembilan.

Langkah dimantapkan untuk menanti. Semua berjalan dengan sendirinya. Menukar banyak waktu. Mencintai hidup penuh arti. Menanyakan pada tujuan. Perihal kehilangan, tidak bisa dinantikan. Ini harus memulai langkah baru. Menulis dengan topik yang jelas. Tidak hanya memperkirakan, tapi memberikan solusi. Tulisan refleksi tidak untuk diperjuangkan.

Bacaan mulai dihindari. Ke gereja mulai jarang. Menopang perkataan baru. Hidup dalam ketidakmengertian. Penuh misteri. Kemudian, ada perjuangan di waktu malam. Mencatat setiap pertemuan.

"Nanti akan pergi ke pasar. Menemukan warna baru untuk belajar. Memperoleh waktu yang sempat untuk sekedar menikmati. Tidak lebih dari singgah," ujar waktu pada kesempatan.

Untuk pasar yang bertemu kalung dan gelang.

Uang memang bisa dicari, menemukan dalam misteri kebahagiaan. Tak ada yang menanti, tanggungan muncul begitu saja. Langkah sederhana untuk menentramkan. Lalu, waktu akan memberikan kesempatan. Duduk di dekat pohon. Menemukan harapan semu. Tidak muncul dan berbentuk waktu. Lama tidak menyapa, memberikan senyuman dan tawa.

"Ini bukan pertemuan lama. Ini sebuah harapan yang hidup kembali. Tidak ada yang menyangka, keramahan menjadi dampak dari senyuman. Mulai meraih tangan," ujar harapan pada sinar mentari.

Pohon turut bernyanyi, seolah memberi makna pada rasa sepi. Bukan karena tidak menarik, tapi memang sebentar saja. Pilihan cukup berdampak. Ada rasa sepi, tidak untuk dinikmati. Semua terjadi, tentang kalung dan gelang dinantikan.

Untuk kepulangan di tengah panas senyuman.

Kalung dan gelang cukup memberikan jawaban. Menukar setiap sapaan dengan senyuman. Ada uang, barang berdatangan. Bertemu kembali rasa lelah. Tukar dalam hening. Kalung dan gelang menjadi bentuk kepedulian. Tidak bisa didefinisikan, paling tidak itu cukup untuk menemukan makna.

"Percakapan tentang burung memang sederhana, tapi langkah akan muncul dan pilihan bisa berdatangan. Cukup, untuk diberikan warna yang beragam. Tidak dapat dihindarkan, setiap pilihan membawa perubahan. Kalung ini akan mencatat sebuah salib. Perpisahan pada percaya," hening seketika. Hening dalam banyak pertanyaan.

Untuk waktu bimbang di jam makan siang.

Tidak ada yang dimakan. Uang habis dan harapan menjadi pupus. Tidak hanya itu, setiap telinga menjadi berisik. Pesta ada di mana-mana. Tidak ada ruang untuk sekedar tangisan. Hilang dalam bentuk harapan. Semua menjadi senang. Tempat ditukar dengan kesenangan.

"Mulai sekarang, semua wajib bahagia. Kepedulian diolah sedemikian rupa menjadi warna yang semu. Tidak ada ide segar, hanya pengulangan yang cukup untuk dikatakan membosankan," ujar penyesalan pada harapan.

Tidak ada pembelajaran, semua jadi uang. Pelajaran yang ada hanya mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dengan kerugian seminimal mungkin. Bertambah dengan pilihan. Menemukan banyak bentuk hidup dengan tertawa. Tidak ada pilihan lain. Semua harus tetap dijalankan.

Untuk perpisahan dengan memandikan burung

Ada pertarungan dalam sangkar. Tentang waktu yang berdampak dalam hidup. Memberikan semprotan kehangatan beserta ucapan. Mendoakan hal baik dalam senyuman. Setiap warna akan timbul dan memunculkan setiap doa.

"Mandikan saja, itu akan memberikan kehidupan serta pilihan dalam melangkah. Tidak hanya menjadi fana saja. Kemudian, setiap perkataan itu akan memberikan dampak pada pertemuan. Ketakutan menjadi nyata, tapi tidak untuk dihindari. Namun, beberap hal bisa saja berulang pada kesempatan selanjutnya. Belum semua hilang," ujar keheningan dengan bahasa tanpa kata. Tapi, dengan cinta berwujud memandikan burung. Melompat dengan takut, itu menjadi jawaban.

Untuk kipas angin tanpa gerak

Mungkin, kesalahan pertama adalah motivasi. Ia hilang entah ke mana, menemukan banyak tawa sebelum akhirnya jadi hidup. Tidak bisa dilakukan, menemukan pertemuan lain. Perlahan, pada setiap tulisan itu menjelma jadi harapan.

"Keberangkatan harus dilakukan. Menukar tempat duduk dengan senyuman. Memperpanjang usia dan harapan. Tidak ada sapaan, semua berjalan begitu saja. Hidup akan tetap memberikan harapan pada yang meminta," kenang harapan itu sendiri.

Kini, malam tiba. Semua menjadi sirna, menopang kembali langkah dan kepentingan. Tidak hanya soal kerinduan. Berdasarkan derap langkah, ada saja bentuk yang bermunculan. Berdasarkan pengalaman tentang kesan minggu lempar panci.

Itu bukan panci, tapi hati.

Godean, 04 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun