Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Tua Pemelihara Bebek

2 Juni 2023   08:15 Diperbarui: 2 Juni 2023   08:15 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari tua menjadi hari penuh misteri. Tidak bisa diperkirakan. Perubahan terus saja berdatangan. Kalau memulai dari gereja. Perjalanan bisa lurus ke arah barat. Sebuah perjalanan singkat. Kalau sempat, akan bertemu pertigaan. Tempat menata harapan. 

Tiap pasaran bernama pon. Banyak orang menanti. Sekedar duduk membawa kandang. Menatap dan membicarakan tentang pagi yang dingin. Mereka menghentikan penjual karena butuh uang. Peternak kecil-kecilan untuk menyambung hidup ditolongnya.

"Mau dibawa ke mana, Kang ? Itu ayamnya berapa ?" menawari pertanyaan seperti itu. Tentu menggoda, bagi orang yang butuh uang. Dari pada melanjutkan perjalanan tidak pasti. Kadang, ada orang memilih bernegosiasi di sana. Menjual setinggi mungkin. Bualan tentang perawatan dan kebiasaan sehari-hari dikatakan.

"Ayam ini perawatannya bagus. Seminggu sekali mandi. Minum jamu juga. Telor bebek dicampuri dengan susu. Ya karena aku butuh uang saja. Jadinya, sekarang ayam ini aku jual. Laku berapa memangnya ?" pertanyaan Kang Haryo. Menawarkan ayam kesayangannya. Sudah tidak tahan, semalam dia tak bisa pulang ke rumah. Istrinya marah-marah karena tidak diberi uang untuk belanja. Sedangkan penagih utang bergantian datang ke rumah. Kang Haryo sendiri malah keasyikan memancing. Tidak pulang. Begitu pulang, langsung bertanya makan. Tentu kemarahan istrinya itu menjadi alasan. Alasan kenapa menjual ayam

"Dari pada nanti ayammu yang aku sembelih. Jual saja, bisa untuk menutupi utang sedikit. Kalau masih ada sisa, nanti bisa untuk beli bumbu. Mungkin, aku akan memasak sayur pahit," begitu kata istri Kang Haryo. Perkataan itu menjadi semangat untuk menjual ayam dengan harga tinggi.

Namanya saja penjual dengan pedagang. Tak akan ada harga tinggi. Ayam dibeli saja sudah bagus. Tidak perlu ke pasar. Berjuang dengan banyak pedagang. Menawarkan banyak kebingungan. Kalau dapat masalah, bisa saja ayamnya malah dituduh curian.

"Banyak risiko kalau ke pasar. Lebih baik, jual di sini saja. Kalau tidak cocok, masih ada pilihan pedagang yang lain. Kami satu komunitas, menjual ayam dan membelinya. Tentu, kami juga perlu makan," ujar pedagang ayam dengan motor warna merah. Tatapannya menjelaskan, kalau perputaran uang tak pernah mudah dikalangan pedagang ayam.

***

Tak pernah disangka, kumpulan pembeli ayam itu kini telah tiada. Kalah dengan perpindahan pasar. Kalau sempat, hanya beberapa penjual burung. Itu mereka berjualan dengan ketakutan. Takut dengan pajak yang tinggi. Tidak semua lahan di pinggiran jalan dibebaskan. Bisa saja, meski hanya berhenti sejenak ditariki pajak. Kang Haryo mengenang masa itu. Masa di mana tempat penjual ayam menolongnya dari banyak masalah.

"Paling tidak, di tempat itu. Dulu ada perjuangan, aku merasakan senang. Mendapatkan kesempatan memanfaatkan jasa mereka. Sekarang, ketika aku berjualan di pasar. Harga memang tinggi, tapi pajak juga tinggi. Pantas saja, mereka hanya mampu membeli dengan harga murah. Rupanya, uang bisa habis untuk membayar pajak," ujar Kang Haryo dalam lamunan.

Jalan pertigaan tetap harus dilanjutkan. Beberapa terlewatkan karena tidak berkaitan. Entah penjual soto, perumahan baru, bahkan persawahan yang berubah menjadi tanaman tebu. Semua mengalami perubahan.

"Kalau bisa, apa yang muncul dikerjakan. Harapan dan impian itu perlu dilakukan juga. Menjaga bebek itu juga perlu," ujar Kang Haryo.

Pemelihara bebek, menikmati sawah dan membeli soto. Itu bentuknya bermacam. Memandang ke arah selatan, mengingatkan pada sebuah pilihan.

"Dahulu, mungkin orang akan ketakutan ketika melewati tempat ini. Seram, sepi, bahkan penuh ketidakpastian. Semua gelap. Tak ada tegur sapa, seolah mati tapi hidup membawa kengerian. Itu dahulu, perlu diingat lagi. Semua mengalami perubahan, dalam berbagai bentuk. Terkadang, perubahan itu membawa permenungan," ujar Kang Haryo.

"Apa permenungan itu, Kang ?" tanya seorang pak tua pemelihara bebek yang tengah asyik memberi makan bebeknya.

"Lebih menakutkan bersama manusia. Ketika ada setan atau apa itu, risiko yang muncul dapat nampak dan bentuknya bisa terkendali. Kalau manusia ? Bisa saja terselubung, dalam sistem yang tidak bisa diketahui. Tidak jarang, orang akan frustrasi karena kegagalannya," ujar Kang Haryo dengan senyuman.

Godean, 02 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun