Hari tua menjadi hari penuh misteri. Tidak bisa diperkirakan. Perubahan terus saja berdatangan. Kalau memulai dari gereja. Perjalanan bisa lurus ke arah barat. Sebuah perjalanan singkat. Kalau sempat, akan bertemu pertigaan. Tempat menata harapan.Â
Tiap pasaran bernama pon. Banyak orang menanti. Sekedar duduk membawa kandang. Menatap dan membicarakan tentang pagi yang dingin. Mereka menghentikan penjual karena butuh uang. Peternak kecil-kecilan untuk menyambung hidup ditolongnya.
"Mau dibawa ke mana, Kang ? Itu ayamnya berapa ?" menawari pertanyaan seperti itu. Tentu menggoda, bagi orang yang butuh uang. Dari pada melanjutkan perjalanan tidak pasti. Kadang, ada orang memilih bernegosiasi di sana. Menjual setinggi mungkin. Bualan tentang perawatan dan kebiasaan sehari-hari dikatakan.
"Ayam ini perawatannya bagus. Seminggu sekali mandi. Minum jamu juga. Telor bebek dicampuri dengan susu. Ya karena aku butuh uang saja. Jadinya, sekarang ayam ini aku jual. Laku berapa memangnya ?" pertanyaan Kang Haryo. Menawarkan ayam kesayangannya. Sudah tidak tahan, semalam dia tak bisa pulang ke rumah. Istrinya marah-marah karena tidak diberi uang untuk belanja. Sedangkan penagih utang bergantian datang ke rumah. Kang Haryo sendiri malah keasyikan memancing. Tidak pulang. Begitu pulang, langsung bertanya makan. Tentu kemarahan istrinya itu menjadi alasan. Alasan kenapa menjual ayam
"Dari pada nanti ayammu yang aku sembelih. Jual saja, bisa untuk menutupi utang sedikit. Kalau masih ada sisa, nanti bisa untuk beli bumbu. Mungkin, aku akan memasak sayur pahit," begitu kata istri Kang Haryo. Perkataan itu menjadi semangat untuk menjual ayam dengan harga tinggi.
Namanya saja penjual dengan pedagang. Tak akan ada harga tinggi. Ayam dibeli saja sudah bagus. Tidak perlu ke pasar. Berjuang dengan banyak pedagang. Menawarkan banyak kebingungan. Kalau dapat masalah, bisa saja ayamnya malah dituduh curian.
"Banyak risiko kalau ke pasar. Lebih baik, jual di sini saja. Kalau tidak cocok, masih ada pilihan pedagang yang lain. Kami satu komunitas, menjual ayam dan membelinya. Tentu, kami juga perlu makan," ujar pedagang ayam dengan motor warna merah. Tatapannya menjelaskan, kalau perputaran uang tak pernah mudah dikalangan pedagang ayam.
***
Tak pernah disangka, kumpulan pembeli ayam itu kini telah tiada. Kalah dengan perpindahan pasar. Kalau sempat, hanya beberapa penjual burung. Itu mereka berjualan dengan ketakutan. Takut dengan pajak yang tinggi. Tidak semua lahan di pinggiran jalan dibebaskan. Bisa saja, meski hanya berhenti sejenak ditariki pajak. Kang Haryo mengenang masa itu. Masa di mana tempat penjual ayam menolongnya dari banyak masalah.
"Paling tidak, di tempat itu. Dulu ada perjuangan, aku merasakan senang. Mendapatkan kesempatan memanfaatkan jasa mereka. Sekarang, ketika aku berjualan di pasar. Harga memang tinggi, tapi pajak juga tinggi. Pantas saja, mereka hanya mampu membeli dengan harga murah. Rupanya, uang bisa habis untuk membayar pajak," ujar Kang Haryo dalam lamunan.
Jalan pertigaan tetap harus dilanjutkan. Beberapa terlewatkan karena tidak berkaitan. Entah penjual soto, perumahan baru, bahkan persawahan yang berubah menjadi tanaman tebu. Semua mengalami perubahan.