"Bagaimana mengatasi orangtua kolot ? Lebih jelas, bapak yang kolot ? Pertanyaan itu muncul. Membawa pilihan untuk dipergumulankan," ujar Handoko.
Bukan hanya tentang kolot. Seolah, harus hemat dan menderita. Kalau belum menderita itu kayak bukan orang. Seolah, bahagia diperoleh setelah mengalami penderitaan. Memangnya, apa tidak boleh. Kalau bahagia lebih dahulu, tertawa dengan maksud yang dipilih.
"Mungkin, setiap orang punya perhitungan masing-masing akan hidup. Bisa juga, itu karena trauma. Muncul dengan perjuangan. Membawa keheningan dalam hidup. Tidak masalah, langkah yang dibilang kolot itu antisipasi," ujar Jarwo.
***
Pasar selalu menjadi tujuan banyak orang. Entah untuk membeli kebutuhan. Bisa juga karena pekerjaannya pedagang. Tidak jarang, mereka yang mencari hiburan. Menukar cucian celana pada kesunyian.
"Tidak masalah, asal bisa merasakan kebahagiaan. Bukan tidak mungkin, dalam selundup dan tangisan itu dimuat perasaan. Itu bukan hal yang tampak saja, tapi ada makna dalam galian perjumpaan," ujar Jarwo.
Mereka yang menjadi tukang parkir akan membosankan. Menunggu motor datang. Menata jika berantakan. Belum lagi, kalau barang hilang. Tidak ada yang bertanggung jawab. Bisa saja, melelahkan. Menerima uang dua ribu sebagai imbalan.
"Kenapa membayar tukang parkir menurutmu, Jar ?" tanya Handoko. Kini, Jarwo menyadari. Sambutan senyuman tadi memang bukan tukang parkir. Tapi, ada orang gila.
"Pasar bisa memuat banyak kepentingan. Lebih indah dari hati," jawab Jarwo singkat.
Perlahan, langkah demi langkah tervalidasi. Ada tujuan masing-masing.
"Mereka menjual ayam bukan berarti tidak butuh ayam. Hanya saja, menjual menjadi bentuk perputaran selanjutnya. Lalu, apa yang akan dijual sebelum semua menjadi ramai ?"