Belum sempat Jarwo menjawab. Ada lelaki tua datang. Mendekati mereka duduk sambil mengulurkan tangan.
"Selamat datang, Mas. Tempatnya sudah penuh. Kalau mencoba duduk di dalam saja bagaimana ?" kata lelaki tua itu. Ia tampak sudah akrab dengan Jarwo. Tapi, Jarwo tidak mengenalinya. Hanya diam saja sambil memperhatikan ponselnya.
"Nanti akan mulai jam berapa ?" kata Jarwo.
Tidak masalah duduk di luar, bagi Jarwo asal tidak terlambat itu sudah cukup. Kalau terlambat, bahasan menyebalkan, belum lagi dampak begitu terasa. Tentu akan sangat menyebalkan.
"Perlahan, kita akan menyadari kalau pembicaraan sudah bisa ditebak. Bahkan, ketika awal pembacaan saja itu sudah bisa diarahkan," ujar Handoko.
"Tapi, tetap saja ada kemungkinan jawaban baru bukan ? Cara melihat yang baru. Berbicara soal makna, tentu akan ada pilihan bahkan pengalaman berbeda. Ini menarik, tapi kalau kita lihat kembali. Perasaannya akan berbeda, ada penghakiman di sana ?" jawab Jarwo.
***
Percakapan mereka menemani malam. Tampak lalu lalang kendaraan kian sepi. Penjual berdatangan membawa jualannya masing-masing. Jarwo menatap penjual pecel lele di samping jalan.
"Sudah lama kita duduk di sini ternyata mereka belum ada yang beli. Bukankah harusnya ramai ? Ini akhir pekan ?" tanya Jarwo.
"Mungkin, tempat itu sudah terkutuk. Kita dulu pernah berjualan di sampingnya. Apa kau ingat ? Sudah lama waktu berjalan. Tetap saja, tempat itu hanya berisikan jalan dan kios kecil. Mungkin saja, tempat itu sudah dikutuk supaya tidak ada yang mau berhenti," ujar Handoko.
Tak lama, lelaki tua datang lagi. Kini, rokok sudah menyala di tangannya. Seolah mendapatkan undangan berbicara, lelaki tua tadi menghembuskan asap rokoknya.