Joglo Tani
Cerpen Yudha Adi Putra
Jumat teramat penat. Begitu kesan Jarwo. Bagaimana tidak, sudah sejak pagi dia membaca. Tak menemukan keberanian. Nyalinya menciut ketika membaca dan terus membaca. Minuman di meja tidak dihabiskan. Sengaja terfokus pada kualitas. Berharap tulisan skripsinya cepat selesai.
"Paling aku harus segera mengumpulkan. Tapi, caranya bagaimana ? Perkembangan sudah dilakukan. Kalimat demi kalimat dituliskan. Tetap saja, perasaan tidak percaya diri itu bermunculan. Ia berkembang menjadi monster," ujar Jarwo sambil menutup perlahan laptopnya.
Laptop itu masih masih menyala. Terdapat foto anggrek. Bunga kesayangan Jarwo.
"Aku harus segera mengumpulkan. Tapi, bagaimana caranya. Untuk sekedar menghubungi dosen saja, rasanya sungkan bukan main,"
Kebingungan Jarwo terus bertambah. Muncul kepentingan dan kebimbangan lain. Biaya kuliah mahal. Tulisan yang tidak kunjung selesai. Persaingan dalam belajar yang liar. Hanya kicau burung, menentramkan Jarwo di pagi itu. Keasyikan akan bertambah. Lama tiap jalinan terjalin.
"Jarwo, nanti silakan dikumpulkan saja. Menurutmu, nanti akan mendapatkan umpak balik seperti apa ?"
Anggapan demi anggapan bermunculan. Hidup memang terjadi tanpa sesuai dengan keinginan. Apa yang seharusnya dan semestinya, pasti akan kalah dengan keadaan senyatanya. Terkesan sederhana, tapi itu amat menyakitkan. Kenyataan menjadi sesuatu yang rumit, bahkan membuat Jarwo membuat rekaan atas kenyataan hidup.
"Paling tidak pagi ini aku harus bersepeda. Mendapatkan kesempatan untuk menggerakkan tubuh. Investasi kesehatan. Setuju dengan tulisan di SD N Brongkol itu," kenang Jarwo menuju rumah. Ketika bingung hendak melanjutkan membaca. Jarwo mendapat sebuah pesan.
Pesan itu mengubah harinya. Menata perlahan kepingan harapan. Bahkan, pesan tadi menyalakan semangat Jarwo.