Lampu belajar dinyalakan oleh Jarwo. Terlihat jelas ketikan cerita bertebaran. Cerita menjadi bagian dari kehidupan Jarwo. Tiap jumpa dijadikannya cerita.
"Bukankah kita tidak bisa mengulang rasa di waktu yang sama ?"
"Tapi, tidak semua cerita bisa dibaca kapan saja bukan ?"
"Benar juga, cerita bisa saja berbahaya. Kalau tidak sempat dibaca, paling tidak cerita itu ada. Bukan kita yang membaca, bisa orang lain. Itu memunculkan makna berbeda juga,"
Percakapan dengan Handoko membuat pagi hening. Pikiran soal khawatir hilang. Itu dilakukan dengan menulis.
"Mungkin bagi kita, menulis menjadi cara menjaga kewarasan !"
"Tapi akan tetap menjadi miskin yang waras,"
Butuh banyak waktu untuk saling memahami. Membaca kondisi, termasuk menahan diri untuk mengungkapkan sesuatu. Bisa saja, di waktu berbeda akan muncul makna lain. Tak sama dan menyebalkan. Meski tidak baru, paling tidak ada usaha mengolah rasa.
"Rencanamu bagaimana pagi ini ?"
"Membeli bebek dan ayam. Sebulan kemudian, itu akan kujual. Semoga dapat untung. Begitu seterusnya, paling tidak sebulan sekali berjualan. Jadi, nanti akan seperti pegawai. Gajian sebulan sekali dan mendapatkan uang. Semoga. Doa baik !" kata Jarwo dengan optimis.
***
Tidak sempat mengeluh, Jarwo menuliskan keinginannya. Ada perhitungan. Tentang apa yang harus dilakukan. Kapan mengerjakannya. Semua dimulai dari doa. Meski ada saja hambatannya, tentang itu Jarwo tidak  mau bercerita.