Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jurnalis Visual

5 April 2023   06:00 Diperbarui: 5 April 2023   06:11 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurnalis Visual

Cerpen Yudha Adi Putra

Kata kuncinya mungkin. Kata itu terucap berkali-kali. Seperti tidak sesuai dengan pengucap. Ada pedoman berkata mungkin. Mungkin terjadi dan berulang. Bisa ditebak. Membentuk pola cara berbicara. Menjumpai manusia, tentu bersama cara bicaranya.

"Tapi, bukankah setiap manusia unik ?"

"Mungkin. Menyebalkan sekali, berbicara demikian. Tapi, tidak sesuai. Katanya berubah jadi mungkin. Memang opini mana sekuat mungkin ?"

Tak masalah, perkataan tentang mungkin masih dicatat. Berlanjut pada tiap penjelasan. Sebuah ruangan khusus. Terbentuk kecil, mungkin menghadap barat. Bersama arah matahari terbenam. Masing dari peserta tak mendapat. Hanya mencatat, mengharapkan kesempatan. Terasa lama, jelas terjadi. Mungkin, dikatakan kembali.

"Pembicaranya ini pakar di bidangnya. Tapi, kenapa dia berbicara seolah mungkin ?"

"Memang berlindung di balik suara kebanyakan akan menenangkan. Mungkin,"

"Tetap saja, suara menjelaskan jadi dominan akan kata mungkin,"

Waktu berlanjut, selama satu jam ada banyak kemungkinan. Senyum sayu, seperti dibuat, mungkin tergambarkan. Perlahan, tiap penjelasan berubah. Ada opini bercampur aduk dengan fakta. Menimbang realita, menembus batas wajar untuk berkata mungkin.

"Sementara, penjelasan tetap seperti itu. Berjumlah delapan, membawa banyak peran. Membatasi diri untuk tidak berlebihan !"

"Termasuk ketika berbicara ?"

"Mungkin !"

Jadilah, ungkapan paling aman. Setidaknya, kesempatan jadi mungkin. Membicarakan dalam ruangan menghadap kemungkinan.

"Kita lanjutkan saja, terus menulis dalam berbagai kemungkinan !"

***

Utama, acara bertambah. Penjelasan dimulai, sesuai pada gambar. Waktu menjadi lambat. Mencatat perihal harap. Pungutan akan ilmu menjadi interaktif.

"Kita akan memulai, berdasarkan pengalaman. Silakan tuliskan keinginan !"

"Apa yang dia katakan ? Keinginan ?"

'Keinginan menjadi dasar atas tindakan. Beragam keinginan, perlu diolah dengan kesadaranan. Kesadaran ini bukan jadi batas, tapi pedoman. Hingga bisa saja melampaui batas dan muncul banyak kesempatan !"

Hidup dalam zona nyaman tentu diharapkan, kalimat demi kalimat. Dominasi adalah huruf e. E terucap pada berbagai sapa. Memulai dengan e, berakhiran pada e. Memulai kesempatan.

"Lampu berujung pada huruf e. Mencatat kembali, dominasi warna biru. Sebelum akhirnya tidak bisa pergi. Kata dari setiap harapan itu ada. Kesal pada rasa !"

Lama tidak dikerjakan, tumpukan kata itu hidup. Menjelma apa saja, setiap keinginan memulai dari kata. Andai kata berubah jadi makna. Semua itu akan bertambah.

Menuliskan setiap impian, bahkan untuk kehilangan.

"Kita tidak dipersiapkan untuk kehilangan. Tapi, siapa yang belum pernah merasakan kehilangan  ?"
Kata dengan e juga bimbang. Perihal rasa, tiap kata menjelma rasa masing. Kini, dalam memandang jurnalisme. Ada paham is dan me. Apakah itu ?
Semacam imbuhan, berdampak pada kenyataan. Menghindari banyak konflik. Memuai, pada tulisan dan senyuman

***

Jarwo senang bisa menyelesaikan pelatihan. Perjumpaannya terbayar lunas. Menimbang persoalan. Mendapatkan ilmu lebih luas. Mungkin, sejenis kertas. Dalam lampu, terasa terbaca namun kandas.

"Paling tidak. Kita pernah berjuang untuk hal yang sama !"

"Menambah perasaan duka. Kelak, perjalanan itu bertumbuh. Menuai banyak sapaan,"

Tentang anak kecil tak bisa terlupa. Mendapatkan senjata, sejenis mainan. Mungkin, milik anak lain tertinggal.

"Apa nanti tidak dicari yang memiliki ?"

"Perasaan memiliki itulah membawa banyak penderitaan !"

"Apa yang salah ?"

Semua bisa diam. Keheningan muncul, bertambah dari waktu lalu. Semacam pamer, tapi tidak sesuai jadi aneh. Mungkin saja perlu belajar.

"Pada ungkapan pertama, soal cerita lebih baik bukan diceritakan. Tapi, cerita itu dituliskan !"

"Siapa yang mau membaca ?"
"Mungkin saja tidak ada. Tapi, perjalanan tetap dilanjutkan. Membawa banyak pilihan perjuangan !"

Catat saja, prinsip Jarwo setiap muncul banyak wacana. Bisa jadi kenangan, tapi muncul sebagai impian.

Kalau dapat, setiap jengkal harapan itu bisa hidup. Meski harus ditopang pengorbanan, menjadi rela atas kesendirian.

"Nilai seperti apa ?"

"Bentuk perjuangan !"

Sudah pagi, Jarwo lapar dan mencatat beberapa hal. Tentang kehilangan, dia singkirkan dari catatan.

"Ini bukan soal perasaan !"

"Bentuk kehidupan. Mendapatkan perasaan hidup, berubah kapan saja !"

Tak masalah, asal masih ada teh.

Godean, 05 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun