Burung Lovebird
Cerpen Yudha Adi Putra
Setelah seharian berjuang, Jarwo pulang. Lelah dirasakannya. Sekujur tubuhnya berkeringat. Basah bercamur air mata. Antara sedih, lelah, dan kecewa. Semua jadi satu. Perjalanan pulang jadi penuh pertanyaan. Keramaian penjual takjil malah membuatnya tak berselera. Padahal, menikmati sore dengan jalan-jalan adalah kegiatan wajibnya. Memang benar, ketika patah hati semua bisa berubah. Dunia seolah bisa menjadi gelap. Tak ada niat untuk melakukan kegiatan. Pulang, sebuah keinginan dan harapan.
"Jalanan macet sekali. Aku terburu-buru," keluh Jarwo sambil terus menyalakan klakson. Tapi, itu tak berguna. Motor di depannya tak bergerak sedikit pun. Kemudian, Jarwo menoleh ke kanan dan ke kiri. Di hadapannya, banyak orang sedang menahan lapar. Itu tampak dari raut wajah mereka.
"Mana aku tadi pagi belum sahur. Ini macet mau sampai jam berapa ? Ngabuburit sambil macet-macetan ?" seorang di samping Jarwo mengeluh.
Jalanan makin macet. Deru suara klakson bergantian. Menatap lengannya, Jarwo menemukan informasi yang dicari. Jam 16.38, masih cukup sore. Cukup untuk pulang sebelum gelap. Paling tidak, informasi itu menenangkan hati Jarwo.
"Jar, nanti malam jangan pulang terlalu malam. Kita sekeluarga di undang di tempat Handoko. Ada acara mengenang seratus hari meninggalnya Mbah Haryo," begitu pesan Ibunya Jarwo pagi tadi. Tepat ketika Jarwo mulai menyalakan motornya.
Pesan itu menjadi hidup. Ketika berada di kemacetan, tetap saja dengan perasaan tak menentu. Jarwo berusaha mencari celah untuk menerobos jalan macet. Tetapi, tak bisa. Hanya asap kendaraan yang diperolehnya.
"Sudahlah, Jar. Santai saja, lagian ini bulan puasa. Wajar saja, mereka yang mau ngabuburit ketemu sama orang pulang kerja. Jadinya macet, banyak banget kendaraannya," ujar Handoko. Sahabat yang duduk di jok belakang motornya. Sejak tadi, Handoko mengamati peluh dan penat Jarwo. Tapi, dia tetap tidak berani berkomentar.
"Aku lelah sekali, pekerjaan hari ini cukup banyak. Mungkin untuk persiapan untuk puasa. Menjelang hari raya, banyak pesanan ternyata,"
"Tentu saja, mereka butuh perayaan. Momen itu, Jar. Nikmati saja, bagaimana dengan keadaanmu sendiri. Aku lihat agak murung kamu," kata Handoko dengan canggung. Tapi, tetap saja diberanikan. Ada gejolak batin dalam dirinya. Takut, sahabatnya itu tak mau terima. Atau, malah diterima berbeda pertanyaannya.