Berburu Takjil
Cerpen Yudha Adi Putra
Selalu ada yang istimewa ketika ramadhan tiba. Bulan ramadhan, bulan dengan perubahan kebiasaan. Puasa. Tapi, tidak hanya itu. Bagi anak rantau, bulan ramadhan dan jauh dari kampung halaman menjadi pengalaman tak terlupakan. Tentang jalanan yang ramai makanan. Merindukan kampung halaman. Keceriaan pagi setelah salat subuh. Banyak lagi. Dan, di antara semua itu ada takjil. Takjil menjadi penyelamat bagi mahasiswa perantauan. Setidaknya, pengeluaran bisa diminimalkan. Hemat makan malam. Nanti, kalau sahur bisa ada lagi. Ada saja makanan di kota istimewa, Yogyakarta. Tiap sudutnya, seolah membagikan makanan. Tentu, tak akan kelaparan di bulan ramadhan ini, begitu pikir Jarwo. Mahasiswa akhir di sebuah kampus di Yogyakarta. Berjuang dengan tugas akhirnya dan kiriman dari orangtua yang sering terlambat.
"Tidak apa, Jar. Nanti kita bisa tahu informasi soal takjil. Mungkin, ini cara kita supaya bisa berhemat," ujar Handoko. Sahabat Jarwo yang sudah lulus. Meski beda kampung halaman. Tapi, mereka tinggal di kontrakan yang sama. Ada satu hal menyatukan mereka. Nasib. Tak punya uang banyak. Patungan tiap bulan supaya bisa bayar kontrakan. Itu harus disambi bekerja. Jadi, setelah selesai kuliah Handoko langsung bekerja. Apa saja, makanya Jarwo begitu menaruh hormat pada Handoko.
"Tapi, sore hari itu waktu yang baik untuk menulis. Data penelitian juga belum ditata dengan baik. Belum lagi, soal rencana ganti topik kalau ini ditolak. Masa aku harus menukar masa menulisku ?" kata Jarwo kecewa.
***
Puasa sudah di mulai, banyak warung tutup. Tidak menjual makanan. Meski di area kampus, tetap saja makanan sulit didapat. Handoko kewalahan, padahal ia mau cari makan untuk sahur dan sekalian berbuka. Tentu dengan Jarwo, patungan biar hemat.
"Semoga saja ada yang jual sayur. Masa, aku menulis skripsi makananya mie instan terus ?" keluh Jarwo.
"Sudahlah. Kita cari dulu, maklum ini hari pertama puasa. Jadi, mungkin penjualnya juga sedang persiapan. Apa mereka ada yang pulang juga ? Ah, aku jadi ingin pulang segera. Tapi, malu dengan pertanyaan tetangga," kata Handoko.
"Tetap saja, tinggal menghitung hari. Kamu tetap akan diwawancarai, bak sarjana muda dengan berbagai inovasi. Bahkan, kamu diharapkan mengubah nasib desa. Berat sekali bukan ?" ejek Jarwo.
Mereka kemudian tertawa bersama. Tak terasa, hari menjadi sore. Jalanan sudah mulai ramai. Ada penjual makanan. Bahkan, tiba-tiba depan kontrakan menjadi seperti pasar.