Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Handoko

24 Maret 2023   12:50 Diperbarui: 24 Maret 2023   12:47 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Handoko

Cerpen Yudha Adi Putra

                Keinginan perlu usaha. Harapan berangkat dari realita. Kesepian membutuhkan kawan. Banyak hal bisa terjadi. Memulai kebiasaan baru. Menunda mimpi lama. Di antara banyak ingin dan angan. Semua jadi tertunda. Begitu disebut kecewa. Sedih karena tak tergapai. Ada awal yang mendahului. Sebelum akhirnya memuncak pada kehilangan. Setiap kehilangan  butuh perhatian.

                "Aku mau kucing. Mau pelihara kucing, tapi tidak boleh !" keluh Jarwo.

                "Memangnya kamu suka kucing ?"

                Pertanyaan itu menghantui. Antara suka atau tidak. Kalau hanya mengelus dan menjadi temannya tentu suka. Bagaimana dengan membersihkan kotoran, makanan yang mahal, kandang yang bagus, semua terjamin. Tentu jadi pikir ulang. Belum lagi, urusan diri yang tidak pernah selesai. Jarwo dalam bimbang itu, tapi tetap ingin memelihara kucing.

                "Tidak boleh. Nanti bulunya sampai ke mana-mana. Itu bisa mengotori lingkungan. Kalau makananku kena bulu kucing bagaimana ?"

                "Semua sama saja. Tak ada yang mau mengerti," keluh Jarwo lagi.

                "Bukan begitu. Upaya melihat kondisi itu perlu. Nanti, kalau memelihara kucing mau ditaruh di mana ?"

                "Bisa beli kandang baru. Nanti aku mau memilih yang warna biru," kata Jarwo dengan antusias.

                Tetap saja, kucing belum berhasil dipelihara. Keinginan terus memuncak. Bukan hanya ingin kucing. Tapi, angan untuk segera mengakhiri studi dengan baik. Informasi teman lain sudah pada lulus. Bentuk kegiatan yang berulang. Semua membosankan dan tenang. Maka, memelihara kucing dianggap jadi harapan. Tapi, itu semua malah dilarang. Tidak boleh memelihara kucing dengan berbagai alasan.

***

Selesai dari kamar mandi, Jarwo menangis. Tangisannya karena kucing. Bukan ingin kucing lagi. Jarwo melihat kucing ditabrak motor. Kucing itu kesakitan dan tak ada yang menolong. Hanya ada burung mendekat.

"Kenapa orang tidak ada yang peduli dengan kucing ?" tanya Jarwo.

"Ada saja. Banyak sekali orang suka kucing. Mungkin saja, kamu belum menemuinya. Bukan di sini memang,"

"Aku mau pelihara kucing," lanjut Jarwo.

"Menabunglah. Banyak keperluan kucing yang harus dibeli. Kucing perlu mainan dan dia tidak bisa kedinginan. Sekarang saja, musim tidak menentu,"

Jarwo melanjutkan langkahnya. Ada harapan hari ini. Bukan soal kucing. Soal kelulusannya dan penantian panjang untuk bertemu.

"Kalau ada kucing, pasti aku tidak kesepian. Kucing lucu sekali. Dia tingkahnya aneh-aneh. Bisa juga menjengkelkan," begitu cerita teman Jarwo sebelum kelas dimulai.

"Aku ada lima belas kucing. Mau memelihara punyaku ?" pertanyaan itu tiba-tiba muncul.

Tapi, hanya ada dalam angan Jarwo. Kegiatan dimulai. Langkah demi langkah terjadi. Kesepian mulai terasa.

"Bukan tidak boleh memelihara. Sekarang harus jelas dulu. Siapa yang mengurusinya, terus keperluan kucing apa saja !"

Perkataan itu menjadi pedoman bagi Jarwo. Dalam benaknya, itu ternyata bukan larangan. Bisa diperbolehkan. Tapi, ada syarat ketat. Kucingnya harus dirawat.

***

Jarwo sudah mendapatkan informasi tentang kucing. Mantap pilihannya. Langkah tertuju pada kucing. Tapi, tentu tidak bisa dibawa sendiri.

"Bagaimana nanti kalau aku temani mengambilnya ?" sebuah penawaran yang tak pernah Jarwo dengarkan.

"Tenang. Jauh tidak, tapi kalau sore bagaimana ?"

Jarwo senang, sampai pertanyaan tak dijawabnya. Dibiarkan mengambang jadi harapan. Belum sempat waktu berubah jadi siang. Keinginan Jarwo memelihara kucing semakin besar.

***
Jarwo mengambil kucing, bukan gratis. Kucing mahal. Harganya cukup untuk membeli bensin 30 liter. Sekarang, bensin seliter saja sepuluh ribu. Bukan uang sedikit, tapi memangnya siapa yang bisa membeli kebahagiaan. Begitu prinsipnya, waktu menjadi cepat dan menyenangkan.

"Ada kucing baru, aku suka. Dia lucu dengan berbagai tingkah," seru Jarwo.

"Bagaimana kalau kucing itu diberi nama saja. Kucing punya nama jadi keren. Sejak kecil dilatih, nanti bisa terbiasa!" saran seorang teman.

Jarwo merasa sedih, sepulang dari kuliah. Ada berita kegagalan. Bukan pada studinya, pada apa yang dilakukan. Tak hanya itu, berita keberhasilan kawan semakin menghantui. Rasanya seperti ingin hilang.

"Kucingku di mana ? Kenapa tidak ada di kandang ?" tanya Jarwo panik.

Di sudut kamar, dia mendapati kucingnya muntah-muntah.

Godean, 23 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun