Jarwo menunjuk sawah sebelah mereka bercengkrama. Sawah itu milik adiknya Haryo. Tapi, dua tahun lalu dijual. Alasannya untuk memasukkan anaknya menjadi polisi. Kini, adiknya Haryo tak punya sawah. Meski kadang, sering membantu Haryo mengerjakan sawahnya.
        "Setiap orang bebas punya mimpi, Jar !"
        "Hahaha, kalau sudah begitu kata-katamu jadi bijaksana. Rasanya bagaimana ?"
        "Tentu tidak terima. Itu warisan, kenapa malah dijual. Mungkin, impiannya terlalu mahal untuk sebuah sawah,"
        Kembali mereka tertawa. Asap rokok mengepul, tapi cepat sirna terkena angin pagi. Banyak petani lain berdatangan. Ada pensiunan guru. Ia membawa jam tangan, berpakaian rapi. Mungkin, itu hari pertama pensiunnya. Jadi, mau merawat sawah.
        "Selamat pagi, Pak Guru. Jam berapa sekarang ?"
        "Wah, ada Mas Jarwo sama Mas Haryo. Telat ini saya, Mas. Rencananya mau ngecek padi yang ditanam kemarin, kelihatannya kena banyak air hujan," kata Pak Handoko itu tersenyum dan mendekati pematang sawah tempat Haryo dan Jarwo bercengkrama.
        "Masa sulit Pak. Jadi petani rumit sekali sekarang. Kelebihan sedikit, nanti sawahnya bisa gagal panen. Air memang harus pas,"
        "Katamu tadi bibit unggulan, bisa panen cepat !"
        "Ya tadi harus dirawat, memangnya ada padi yang dicetak ? Semua beras itu dari padi. Untuk membuat nasi di meja makan itu perlu banyak tangan pejuang,"
        "Tapi petani sering dilupakan ?" kata Pak Handoko sambil tersenyum. Tampaknya, ia mencari sesuatu di sakunya.
        "Mau merokok, Pak Guru ?"