Perempuan Penyimpan Bintang
Cerpen Yudha Adi Putra
Setelah tak ada panas berhari-hari, pagi ini seperti membawa ganti rugi. Tidak dingin, meski masih jam lima pagi. Ayam sudah berkokok rajin. Burung bersautan. Embun tampak membasahi mawar Bu Hesti. Pagi ini, semua seperti baik-baik saja. Siap untuk memulai hari. Menyambut apa saja yang bisa dinikmati. Pagi ini, suasana gaduh sudah terasa di rumah Bu Hesti. Suara itu, mungkin menganggu tetangga. Tapi, mungkin juga tidak. Kalau tidak gaduh, tentu tetangga yang malah bertanya-tanya, begitu gumam Pak RT.
"Semua pesanan tidak jadi, dibatalkan. Mau untuk apa tempe sebanyak ini ? Aku bosan makan tempe terus !" begitu keluh Jarwo. Bangun tidur, ia mengeluh. Hanya tidak hujan saja dia bersyukur. Satu-satunya harapan. Dia bisa menikmati perjalanan ke kampus dengan tenang.
        "Aku mau sarapan enak nanti," adiknya Jarwo menimpali. Seolah, itu mau sama seperti Jarwo tidak mau makan tempe.
        Bu Hesti terdiam. Tak menjawab keluhan kedua anaknya. Ia bingung, tempe yang banyak itu mau diapakan.
        "Pagi masih belum cerah, ini aku mau ibadah dulu. Kalian jangan berisik," begitu kata suaminya Bu Hesti.
        Sudah rapi. Ia berangkat menuju ke tempat ibadah. Menyapa beberapa warga. Ada yang lagi nyapu. Memberi makan burung.
        "Kenapa sepagi ini memberi makan burungnya ?" tanya suaminya Bu Hesti.
        "Sekalian diembun-embunkan, Mas. Biar gacor nanti," jawab tetangganya singkat.
        Langkah dilanjutkan, tapi kegaduhan di rumah Bu Hesti tetap berlanjut.
        "Aku dari kemarin belum sempat makan, langsung tidur karena kecapaian. Hujan membuat malas," Jarwo mulai mengeluh lagi.
        "Tidak ada pelajaran olahraga. Aku mau olahraga kemarin, tapi malah hanya di kelas. Nonton film pendek lucu. Tapi, tidak ada lucu-lucunya sama sekali,"
Dengan telaten, Bu Hesti mendengarkan kedua anaknya mengeluh. Ia juga menyimpan pertanyaan. Nanti berangkat sekolah, tentu mereka butuh sarapan dan uang saku. Padahal, tempe tak laku. Suaminya, tentu uang tidak ada. Kemarin, sudah dibuat beli kedelai. Â Bu Hesti memilih keluar sejenak. Membawa beberapa baju basah. Untuk dijemur.
***
Setelah membaca suasana pagi, Bu Hesti yakin betul. Nanti siang, akan panas terik cuacanya. Ayam-ayam bersemangat mencari makan. Â Seolah, mau menemani Bu Hesti menjemur pakaian. Kedua anaknya Bu Hesti masih ribut soal sarapan di dalam rumah. Tak ada yang bisa dimakan. Hanya kerupuk dan tempe apek. Begitu tahu, Jarwo semakin mengeluh.
        "Aku ini ke kampus kuliah. Capai, belajar ini itu. Tapi, makanannya tetap tempe apek. Rasanya tidak enak sekali. Nanti, kalau semakin mengeluh, bukanya diganti malah bilang kalau banyak orang belum bisa makan," gerutu Jarwo dari kamarnya. Ia mempersiapkan banyak buku untuk dibawa. Hari ini, tentu akan menjadi hari yang panjang baginya.
        "Nanti, aku mau jajan. Tidak mau makan tempe. Tapi, sarapan apa sekarang ?" adiknya menambahi.
 Keluhan demi keluhan itu terdengar Bu Hesti. Ia menahan amarah. Menatap langit. Ada mendung di sebelah selatan. Meski demikian, cuaca tetap memberi harapan akan cerah. Tampak dua bintang menyapa Bu Hesti. Seolah, bintang itu memberi semangat baginya. Semangat untuk menjalani kerasnya hari sebagai penjual tempe dan seorang ibu.
        "Sudah, kalian siap-siap sekolahnya dulu. Habis itu mandi, ibu punya lauk spesial untuk kalian. Kalau mengeluh terus, kapan selesainya ?" ujar Bu Hesti sambil tetap menatap bintang. Ia tersenyum senang.
        "Ternyata, ada gunanya juga ikut simpan pinjam. Aku jadi ada sedikit harapan," gumamnya dalam hati.
        "Memangnya sarapan apa, Bu ?" tanya Jarwo dengan bersemangat.
        "Palingan nanti kita goreng ayam sama buat sambel ya, Bu," kata suaminya Bu Hesti sepulang dari ibadah. Suasana pagi menjadi penuh dengan teka-teki.
        "Kita akan makan bintang. Aku menyimpan banyak bintang pagi ini," kata Bu Hesti sambil menatap langit.
Perlahan, ia melangkah. Tatapannya penuh bintang, berkelip. Hingga, dia rebah di dekat suaminya. Suaminya berusaha mendekat, meraih tubuh istrinya itu. Tapi gagal, kunang-kunang dalam tatapan Bu Hesti dikiranya bintang. Padahal, ia belum makan sejak kemarin siang.
Godean, 03 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H