Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gang Samping Sekolah

8 Februari 2023   18:00 Diperbarui: 8 Februari 2023   17:58 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gang Samping Sekolah

Cerpen Yudha Adi Putra

Hujan turun deras. Semua basah. Berlarian siswa SMK. Harap cemas mereka. Pelajaran segera di mulai. Siswa SMP mulai pulang. Angkringan ramai dengan pembeli. Jajanan pasar sudah habis. Pembeli korden masih tampak antre. Semua memilih berteduh. Jalanan sepi. Pengendara motor takut melaju. Pepohonan tertiup angin. Tanah basah menggenang air. Semua seperti tumpukan kenangan.

Kenangan, dimana Jarwo memutuskan keluar. Keluar dari pekerjaan menjanjikan. Hidup adalah pilihan. Pilihan penuh risiko. Setelah tidak mengajar. Jarwo hanya berjualan. Apa saja, termasuk tulisan. Ia menjajakannya lewat koran. Tiada hari tanpa menulis. Meski bosan, Jarwo tetap menulis. Dan, tidak pernah dimuat.

"Bagaimana kalau kita buka tempat fotocopy?"

"Itu ide yang bagus. Uang dari mana?"

"Aku akan jual cicin pernikahan kita !"

"Kau yakin ?"
"Mungkin."

Istri Jarwo tertunduk lesu. Tak berani membiarkan suaminya diam. Meski menulis, tapi tak pernah ada uang. Itu menyedihkan. Sudah berhari-hari, mereka tak bicara. Jarwo gemar mengurung diri. Kalau sedang menulis, tak mau diganggu.

"Kebiasaanmu menyebalkan ! Kau bisa jadi penulis, tapi tidak berarti apatis."

"Itu kontemplasi namanya."

"Untuk apa ?"

Tak ada jawaban. Jarwo tahu, istrinya mulai kesal. Uang belanja tak pernah ada. Makanan mulai seadanya. Tabungan kian menipis. Untung mereka belum punya anak. Tak berharap punya juga.

"Kalau aku pulang ke rumah orangtuaku bagaimana ?"
"Jangan. Aku tidak kuat dengan ucapan Ibumu."

"Setidaknya kita bisa makan."

Makan. Itu masalah penting. Jarwo mulai kepikiran, banyak hal dilakukan. Ia menatap bunga di halaman. Tak ada perubahan. Hanya ada hujan. Ditemani teh pahit. Jarwo berharap ada perubahan.

"Kenapa kita masih tinggal di sini ?"

"Karena tak ada uang lagi. Kita bisa tinggal dimana memangnya ?"
"Perumahan."

"Di sini, tetangganya berisik. Selalu ingin tahu urusan. Belum sebelah kanan. Ada pengangguran. Tak bekerja. Kerjanya cuma dengar musik. Itu pakai pengeras suara. Keras sekali. Dia bodoh."

"Tidak."

Jarwo kebingungan. Ia tahu, orang yang dimaksud adalah Haryo. Salah satu tetangganya. Memang, dia pengangguran. Tapi, Jarwo tak berani berbicara. Soalnya sama. Sama penganggurannya. Waktu terus berjalan, malam tiba. Semua tenang, kecuali istrinya Jarwo.

"Aku tak tahan dengan kemiskinan !"

"Kita akan segera kaya."
"Bagaimana caranya ?"
"Entah. Sekarang tidurlah dulu."

Senyuman Jarwo menghiasi malam. Tak tahan, ia bangun. Kembali menulis cerita. Keesokkan harinya, ada koran tiba. Tulisan Jarwo berhasil dimuat. Hatinya senang, istrinya tidak. Tagihan tiba. Uang habis. Beras utang. Sabun kering. Penderitaan tiba. Hari menjadi cepat. Siang tiba, tanpa senyuman.

***

Melihat banyak siswa pulang. Jarwo juga ikutan. Tak terasa. Ada banyak pendatang. Mirip seperti dirinya. Menghampiri pedagang tua. Ia menjual roti. Entah, Jarwo jadi lapar.

"Membuka usaha di dekat sekolah. Mungkin, itu akan bermanfaat !"
"Mereka apa punya uang ?"

"Ada senyuman yang penting !" jawab Jarwo pada istrinya. Mereka mulai sepakat. Setelah malam, akan menjual semua perhiasan. Membuka warung kecil. Berjualan mie dan makanan. Semua terencana, kecuali berjualan tulisan.

"Kalau kita tetap buka fotocopy. Itu bisa membantu ?"

"Semua siswa pasti fotocopy bukan ? Untuk tugas sekolah. Untuk mengajar. Guru juga senang bolos mungkin ?"
"Semoga saja." Istrinya Jarwo kesal. Tak berminat untuk membuka fotocopy.

***

Fotocopy sudah buka. Perlahan, tampak siswa berdatangan. Bukan hari pertama. Sekarang, sudah tahun ketiga. Berjalan seorang perempuan. Bertanya soal makanan.

"Tak ada. Kalau mau puisi, di sini ada ?"

"Semua ada kecuali puisi !"
Perempuan itu tertawa. Perjalanan dilanjutkan. Jarwo mengamati dari kejauhan.

"Siapa itu ?"

Pertanyaan istrinya membuyarkan lamunan. Perlahan, Jarwo menyalakan rokok. Ia hisap perlahan. Menatap gang samping sekolah. Puluhan motor terpakirkan. Ada kucing berkejaran.

"Kawan lama !"
"Penyair juga ?"
"Bukan. Dulu sering disebut kekasih. Tapi, itu dulu. Kini sudah bersamamu bukan ?"

"Kalian aneh." kata istrinya Jarwo. Menatap siang tanpa kedip.

"Kau cemburu ?"
"Tidak. Aku melakukan kesalahan besar, mungkin ini keapesan terbesar dalam hidupku juga."

Jarwo terdiam. Ia tak mengerti ucapan istrinya. Gang samping sekolah kian ramai. Orang berdatangan untuk fotocopy.

Seorang murid SMK datang. Membawa banyak uang.

"Bahaya mencintai penyair !" ujarnya sambil membaca tulisan di kaos Jarwo.

Godean, 08 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun