Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhirnya Makan Mie

5 Februari 2023   20:20 Diperbarui: 5 Februari 2023   20:32 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya Makan Mie

Cerpen Yudha Adi Putra

Jarwo merasa sakit kepala. Tidak ada yang salah. Olahraga dilakukan tiap pagi. Tidur boleh dikatakan cukup. Air putih diminum teratur. Tetap saja, ada banyak suara di kepalanya. Terasa bisik baginya. Tiap menjelang tidur. Kantuk tak akan tiba, sebelum Jarwo benar-benar lelah menatap langit. Kalau hujan tak menyapa, ia bisa berangan soal apa saja.

"Kalau aku bisa ke gereja. Pasti, malam ini tak terasa sepi." gumam Jarwo. Lirih, tak ada yang mendengar. Bahkan, hewan malam masih asyik dengan candaan masing-masing.

"Jarwo. Apa kamu sudah makan ?" tanya Ibunya. Perempuan paruh baya itu baru pulang dari sawah. Sudah hampir gelap. Kakinya masih kotor terkena lumpur. Sorot matanya teduh. Lebih teduh dari atap rumah Jarwo kala hujan tiba.

"Belum. Aku ingin sekali ke gereja." kata Jarwo menatap Ibunya. 

Ingin rasanya membantu Ibunya meletakkan barang bawaan dari sawah. Tapi, sengaja tak dilakukannya. Jarwo tetap berusaha melamun. Membayangkan lonceng gereja dibunyikan. Ia bisa menatap banyak orang berdatangan. Bibir mereka berhiaskan senyuman. Palsu.

"Bu. Kenapa kita tidak ke gereja malam ini ?" tanya Jarwo sambil menunjukkan sebuah buku. Bersampul debu. Beberapa bagiannya sudah sobek. Rajin terbaca oleh Jarwo.

"Hujan." jawab Ibunya singkat. 

Malam datang dengan gelap. Menyelimuti gubug tua beralaskan tanah. Tak ada benda mewah di sana. Mungkin, kalau tak ada penerangan. Tempat itu sudah dikira gudang. Kalau tidak, bisa juga kandang ayam.

***

Pagi itu, mungkin menjadi mimpi burung yang nyata bagi Jarwo. Tepat di depan matanya, ia melihat Bapaknya tak bernyawa. Sebagai seorang petani desa, Bapak Jarwo sering bekerja di malam hari. Ada yang mengira itu mencari kekayaan dengan ilmu hitam. 

Tak jarang, Bapaknya Jarwo dituduh berkenalan dengan penghuni gaib sawah. Tak ada yang pernah tahu kenapa Bapaknya Jarwo meninggal. Hanya saja, sebelum meninggal. Ibunya Jarwo melihat sebuah luka lembab di punggung suaminya. Ia hanya diam saja, tak tahu. Sengaja ia simpan pertanyaan itu, untuk dirinya sendiri.

"Gereja tak bisa ikut membantu memakamkan." ucap seorang berbaju hitam. Pada lehernya, ada tanda putih. Membawa kalung dengan hati-hati. Kitab berwarna biru dipeluknya.

"Tapi, saya akan melayani untuk doa kedukaan." ucapnya lirih. Seolah, tidak mau banyak orang mendengar.

Banyak warga desa berkabung, terutama petani. Selain rajin, Pak Karno selalu menjaga sawah. Tak ada burung berani mendekat padi. Ada saja jebakan dari Pak Karno. Kematian Pak Karno, Bapaknya Jarwo cukup mengejutkan. Bahkan, berita kematiannya sampai pada kepala daerah.

"Seorang petani meninggal dengan tiba-tiba ketika mencakul sawah. Bisa saja, dia kelelahan." komentar salah seorang pejabat dengan ringan.

Sejak kematian Bapaknya Jarwo, ada yang berbeda dari perlakuan gereja. Anggapan bermunculan. Bahkan, tak jarang menghina keadaan Ibunya Jarwo dengan menyebutkan sebagai istri tidak tahu diri. 

"Kalau saja bukan karena istrinya. Aku yakin, Pak Karno tak akan meninggal secepat ini."

"Ada apa dengan istrinya ?"
"Pembawa sial. Anak yang dilahirkan saja cacat. Tak bisa berjalan."

Padahal, dulu Pak Karno sangat rajin ke gereja waktu muda. Menjadi pengurus di berbagai acara. Sejak menikah, malah hanya pergi ke sawah.

***

Pagi sudah mulai tiba. Embun menyelimuti dedaunan. Kicauan burung menjadi panggilan pagi. Senyuman mentari mulai tampak, meski malu-malu. Sumbu penerangan di rumah Jarwo nampak menghitam.

"Bu. Sudah pagi, Ibu mau pergi ke sawah pagi ini ?" tanya Jarwo. Ia baru saja selesai membaca sebuah kitab. Kitab yang menemani di kamar. 

"Mau masak dulu. Akhirnya, kita bisa makan mie lagi." ujar Ibunya Jarwo dengan senyuman.

"Kau mau ke gereja ?" 

"Iya, Ibu. Aku sangat rindu suasana gereja. Andai saja, Bapak masih ada. Pasti dia akan menggendongku ke gereja." ujar Jarwo dalam tatapan penuh harap.

"Kamu sebenarnya sudah berada dalam gereja. Saat ini dan setiap saat, Jarwo." kata Ibunya Jarwo. Ucapan itu begitu lembut berhias air mata.

"Maksudnya, Bu ?"
"Bapakmu dulu pamit. Dia tak rela, tanah sawah menjadi perluasan gereja. Tapi, kini tanah bapakmu sudah jadi gereja. Bapakmu sudah membawakan gereja padamu, dalam hatimu."

Mereka saling berpelukan. Menangis. Tiba-tiba, kaki Jarwo bisa digerakkan. Tampak senyum girang.

Godean, 05 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun