Sempol Ayam Terakhir
Cerpen Yudha Adi Putra
Punya rambut gondrong tentu menyenangkan. Bagi laki-laki, bisa repot. Banyak stigma. Gondrong dekat dengan kriminal. Orang bermasalah. Bahkan, dikira preman pasar. Jarwo sempat bingung. Kalau perempuan disebut panjang. Kenapa kalau laki-laki, rambut gondrong ?
Setelah mandi, Jarwo mengusap rambut panjangnya. Menatap layar laptop. Lamunannya tertuju pada sebuah buku. Buku lusuh berwarna biru. Sampulnya sudah sulit dibaca. Termakan usia.
"Mas. Jadi beli sempol ayam tidak ?"
Teriakan Bara, adiknya Jarwo. Seperti ditagih hutang lama. Jarwo ketakutan. Bukan karena bersalah. Tapi, kejadian tadi sore membuatnya resah. Kala itu, Bara sedang bermain. Permainan anak kelas dua SD. Berlarian di halaman, tanpa sengaja. Kakinya terantuk batu. Terjatuh di antara kotoran ayam. Sontak, kawannya tertawa. Bara juga tertawa.Â
"Bisa-bisanya. Kena kotoran ayam. Sudah mainnya ya !"
"Nanti. Aku masih mau bermain."
"Tapi, kamu kena kotoran ayam. Itu bau sekali. Pulang saja. Kita lanjut besok saja bermainnya!"
Bara berjalan lesu. Ia pulang dengan kaki bau kotoran ayam. Dimintanya air. Maklum, depan rumah tidak ada kran. Jarwo masih asyik dengan burungnya. Bacaan di sampingnya dibiarkan saja.
"Kenapa, Bar ? Jam segini sudah pulang ? Berantem ya !"
"Tidak. Ibu dimana, Mas ?"
Jarwo menunjuk seorang perempuan paruh baya di kebun. Rumah mereka berdampingan dengan sungai. Ada kandang burung dara. Tanaman sayur. Pohon kayu yang melintang sungai. Asyik ketika sore. Bersama burung. Semua mungkin terjadi, termasuk hujan.