Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petani yang Menanam Kakinya Sendiri

30 Januari 2023   10:00 Diperbarui: 30 Januari 2023   10:06 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Petani yang Menanam Kakinya Sendiri
Cerpen Yudha Adi Putra

Perjalanan melewati sawah akan menyenangkan. Ada sapaan hamparan tanaman padi. Angin sore berhembus. Kalau pagi, embun membasahi. Tapi, semua itu kalah meriah. Ada potongan spanduk. Banyak petani memasangnya. Dekat pematang sawah. Sebuah panduk terbaca jelas.
"TANAH INI TIDAK DIJUAL!"

Spanduk itu turut meramaikan sawah. Menjadi tempat hinggap burung. Banyak petani memasangnya. Hamparan sawah yang luas. Semua berhiaskan spanduk. 

Macam-macam tulisannya. Bila tidak demikian, petani gelisah. Takut sawahnya menjadi perluasan lahan. Namun, ada petani tua yang justru mencabuti spanduk itu.

***
Petani tua tinggal di ujung desa. Menjadi sosok misterius. Tidak banyak yang tahu. Mereka hanya tahu, dia seorang petani tanpa sawah. Entah bisa disebut petani atau tidak.  Ia begitu cinta terhadap sawah.

"Anak muda sekarang tidak akan mau menjadi petani !"

"Petani itu pekerjaan kotor. Tidak bergengsi seperti pakai dasi !" lanjut petani tua.  Mereka sering menyebutnya Mbah Tresno. Dia bisa menghabiskan waktu dari pagi ke pagi lagi hanya untuk berada di sawah. Malam biasa bermalam di pematang sawah. Belum puas kalau belum ke sawah. Tidak akan bisa tidur. Jika tidak menginjak pematang sawah. Hamparan tanaman padi seperti jadi sahabatnya. Melakukan segala sesuatu di sawah sudah menjadi bagian dari hidup Mbah Tresno. Bila musim panen tiba, dia justru merasa sedih dan menyesal.

"Pernahkan kalian memikirkan tanah ? Ia menerima semua pupuk berbahaya. Namun, sekarang memberi panen melimpah. Bukankah itu bisa meracuni?" ujar Mbah Tresno usai memanen padi. Mulutnya mengampit rokok apek. Basah, tak dinyalakan.

***
Mbah Tresno sebelum matahari terbit, sudah di sawah. Perlahan menuju pematang sawah. Mbah Tresno siap mencabuti spanduk. Spanduk perlawanan itu menutupi pematang sawah. Dari mencabuti spanduk, Mbah Tresno jadi dapat alas untuk duduk dan kayu bakar. Pagi kian jelas. Cukup lama matahari tampak. 

Langit tertutup mendung. Mbah Tresno melihat dua lelaki berdasi. Mereka mungkin baru saja ke sawah. Bukan sebagai petani. Mbah Tresno seperti mengenali salah satu dari mereka.

"Tanah di sini datar ! Cocok untuk perluasan pabrik."

"Petani tidak menjual tanahnya. Nanti kita bisa didemo besar-besaran !Kita harus jalankan cara cerdik." usul Pak Darso.

Sebab merasa tak ada orang, kedua lelaki berdasi tadi berkeliling sawah. Menikmati embun pagi di sawah terasa menyenangkan. Ada perasaan tidak tega, kalau sawah ini besok dijadikan pabrik. Lelah berjalan, kedua lelaki tadi mendekati gubug kecil. Gerimis turun dan tatapan tertuju pada Mbah Tresno. Mereka seolah kenal dengan Mbah Tresno. Namun, setelah tahu ada Mbah Tresno. Mereka malah menjauh, seolah enggan berurusan.

"Apa tadi itu salah satu dari petani padi di sawah ini ya ?"

"Mungkin." Pak Darso seolah tak berminat menjawab.

"Sepertinya mudah sekali mendapatkan hatinya. Tinggal kita adakan acara kesenian. Pasti bisa menarik hati."

"Ya. Sebelumnya belum pernah ada yang mencoba cara seperti itu. Kalau pakai uang ganti rugi. Ada saja maunya !" ujar Pak Darso mengajak kawannya naik mobil.

***
Lelaki itu menangis. Sulit baginya untuk meninggalkan anak laki-lakinya. Keputusan sudah final. Perempuan yang dinikahinya memilih selingkuh. Pipinya basah, ketika mengenang kembali. Tidak kuat hidup dalam kemiskinan. Setelah tahu istrinya selingkuh. Ia mengamuk. Tamparan mendarat dipipi perempuan yang amat disayangi. Sejak kejadian itu, dia dilaporkan karena kasus KDRT dan diceraikan.

"Aku tetap mencintaimu, Asih. Besarkan Darso dengan baik ya. Semoga kamu bahagia !"

Derai air mata teurai. Anak laki-laki bernama Darso hanya tahu kalau Bapaknya ke sawah. Tapi, tidak pernah kembali. Hingga, dia dikenalkan dengan Bapak baru oleh ibunya. Bapak yang memenuhi semua kebutuhan hidupnya hingga tumbuh dewasa. Bahkan, menjadikan Darso sebagai pemimpin muda di pabrik sepatu.

***
Pemasangan spanduk tetap gencar oleh petani. Anehnya, sore dipasang paginya spanduk itu hilang. Kabar itu juga sampai pada pimpinan perusahaan sepatu. 

Pak Darso tetap berusaha membeli tanah petani.  Ada banyak investor memberikan tawaran. Demo petani tak dihiraukan. Mendengar ada orang mencabuti spanduk, Pak Darso merasa lega. Ia tampak bersemangat membaca koran pagi. Ketika membuka halaman kedua, Pak Darso terkejut. Ada sebuah berita.

"Seorang petani mencabuti spanduk di sawah. Petani itu menanam kakinya sendiri. Ia mencoreti punggungnya dengan tulisan, Darso ini Bapakmu!"
Seyegan, 30 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun