Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jathilan Pasar Malam

29 Januari 2023   08:10 Diperbarui: 29 Januari 2023   08:14 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jathilan Pasar Malam

Cerpen Yudha Adi Putra

Hujan baru saja reda. Rumput lapangan masih basah. Teriakan penjual mulai terdengar. Semua tidak mau melewatkan malam. Ada pasar malam di lapangan. Malam Minggu, tentu akan ramai. Suara musik saling bersautan. Tidak mau kalah dengan berisiknya kepala Erni. 

"Bagaimana nanti kalau dilihat teman-temanku !" gumam Erni.

Pertunjukkan akan dimulai jam sembilan. Masih ada waktu untuk melihat tong setan. Keinginan itu disimpan tiap malam. Ketika mau diwujudkan, Erni takut.

"Dulu, bapakmu juga main tong setan !" 

"Aku tidak mau melihat tong setan lagi. Hiburan itu telah membuat bapakmu tidak ada !" lanjut Bu Heni. Ibunya Erni sangat benci permainan motor itu. Hanya melihat motor berkeliling. Memang lintasannya mengerikan. Ada tong raksasa. Setiap menoton bisa memberi uang. Pengendara sepeda motor akan menyambar. Lepas tangan. Tepuk tangan bisa terdengar kapan saja.

"Sebenarnya. Bukan karena tong setan bapakmu meninggal. Itu karena tuntutan Ibumu !" ujar Paman Haryo. Kawan Pak Dibyo, seorang pengendara motor handal. 

"Tuntutan apa ? Ibuku tidak pernah menuntut !" jawab Erni kesal.

"Tuntutan uang bulanan. Bayar sebagai pengendara sepeda trail berapa ? Tidak banyak. Belum kalau pasar malam sepi. Makanya, bapakmu berusaha membuat atraksi keren. Malah terjatuh. Dulu, tujuannya supaya diminati penonton !" jelas Paman Haryo.

Bayangan akan asyiknya melihat tong setan. Erni mulai berjalan di antara keramaian. Kesepian tidak bisa kalah. Musik yang keras seperti tak terdengar. Lamunan Erni masih pada sebuah tong raksasa. Tong yang diceritakan membunuh Bapaknya.

***

Tidak akan pernah ada harapan. Semua sudah pupus. Mendengar suaminya meninggal, Bu Heni merasa bersalah. Kalau saja ia tidak banyak menuntut. Pasti suaminya masih ada. Banyak utang harus dibayarkan. Cicilan sepeda motor belum lunas. Semua itu ditumpahkan dalam tangisan.

"Pak. Maafkan aku ! Sekarang dirimu bebas bermain motor kesayanganmu di surga. Bukan demi uang. Tapi untuk kebahagiaanmu sendiri !" guman Bu Heni. Tatapan wajahnya sayu. Melihat suaminya terbujur kaku. Ibadah penghiburan siap dimulai.

"Bu. Mari, kita mulai ibadahnya. Semoga semua baik-baik saja !" ujar seorang berbaju hitam. Bagian leher bajunya ada tanda warna putih. Orang sering menyebutnya pendeta.

"Baik. Pak Pendeta" derai air mata masih terasa. Kala itu, Erni masih kecil. Belum mengerti artinya peti putih itu. Ketika ditanya kemana Bapaknya. Erni diajari menjawab.

"Bapak melihat jathilan di pasar malam !"

Jawaban yang tak melegakan. Kenapa orangtua melihat pasar jathilan ? Kenapa di pasar malam. Hingga tumbuh dewasa, Erni tak kunjung mengerti, Bapaknya meninggal terpeleset saat mengambil saweran.

***

Motor sudah siap melaju. Pasar malam mulai ramai. Semua penonton ingin melihat. Sebuah tong raksasa. Wahana baru di pasar malam. Bisa dikatakan, karena tong raksasa itu. Pasar malam menjadi laris.

"Kita akan pesta malam ini !" seru Pak Haryo.

"Ini lintasan sulit. Istriku tidak mengizinkan. Aku takut !" ucap kawannya cemas. Baru pertama kali, menaiki motor dengan lintasan tong besar. Berputar dalam tong. Merasakan kecemasan. Kalau tergelincir sedikit saja, bisa habis kejatuhan motor.

"Tidak. Kita sudah biasa melakukannya ! Tarikan gas dengan yakin ! Sambar uang-uang itu. Semua untuk kita !" Pak Haryo berhasil membuat kawannya bersemangat. Deru motor menyala. Tong setan dimulai. Tontonan yang menakjubkan. Antrean panjang mulai mengular. Semua mau lihat.

"Ingat ! Kau harus bawa banyak uang ! Cicilan dan tungakan utang harus segera dibayar. Bukan hanya keluyuran saja !" ujar Bu Heni dalam benak Pak Haryo. Perkataan istri kesayangannya itu menjadi semangat. Apalagi, Pak Haryo ingat. Anak perempuannya sebentar lagi mau masuk sekolah dasar.

"Paling tidak. Menjadi pengendara sepeda motor lebih menyenangkan dari menjadi penari jathilan. Tapi, aku merindukan masa itu !" gumam Pak Haryo. Dulu, Pak Haryo memang penari jathilan ketika muda. Itu juga berlanjut meski sudah menikah. Tawaran menjadi penari kuda lumping kian sedikit. Hingga menjadi pengendara motor di dalam tong dilakukannya.

***

Erni memberanikan diri terus melangkah. Wajahnya sudah dirias. Siap menari bersama kerinduan akan Bapaknya, dalam jathilan.

Godean, 29 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun